Wali Kota dan Bupati Bekasi didesak untuk menolak rencana kenaikan tarif Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Bhagasasi. Pasalnya jika tarif PDAM yang kepemilikannya dipegang Kota dan Kabupaten Bekasi itu dipaksakan naik, masyarakat selaku pelanggan akan semakin terbebani.
“Harus diukur dampaknya kepada masyarakat. Apalagi kenaikan tarif hingga kisaran 20 persen berbarengan dengan naiknya Tarif Dasar Listrik (TDL) hingga Bahan Bakar Minyak (BBM). Maka saya sarankan agar Wali Kota dan Bupati selaku pemilik saham menolak usulan tersebut,” ujar Direktur Bekasi Parliementari Center (BPC), Didit Susilo, melalui rilisnya yang diterima redaksi, Senin (3/11).
Menurutnya, rencana kenaikan tarif dari Rp. 3.150 per kubik menjadi Rp. 5.015 akan berdampak signifikan bahkan diperkirakan Kenaikan bakal mempengaruhi tingkat daya beli pelanggan terhadap kebutuhan air bersih.
“Jelas akan ada dampak yang besar dengan kenaikan mencapai angka Rp 2000. Saya pikir ini mesti ditimbang lagi. Kalau toh terpaksa naik, cukup diangka 5 persen saja,” kata dia.
Dirinya lebih sepekat jika PDAM melakukan pembenahan dalam segi kualitas ketimbang mengejar kenaikan tarif. Sebab problem utama PDAM jutsru pada sektor tersebut.
“ Pemkot dan Pemkab Bekasi harus mendorong untuk meningkatkan pelayanan PDAM lebih dahulu secara bertahap sampai memenuhi standar yang diinginkan untuk kemudian tarif akan dinaikkan secara bertahap,” katanya.
Lanjut, sesuai PP No 16/2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, kualitas yang dimaksud adalah kualitas air minum harus sesuai dengan standar Depkes, layanan harus diberikan 24 jam non stop, serta harus memenuhi tekanan page 1 / 2 minimum seperti yang disyaratkan.
Dan untuk memenuhi syarat itu, dibutuhkan biaya yang sangat besar terlebih dengan prinsip full cost recovery yakni dari tarif yang ada, PDAM dapat menutup seluruh biaya operasi yang ada. Dengan begitu PDAM diharapkan mampu mempertahankan tingkat dan kualitas pelayanannya.
“Tentunya ini dapat meningkatkan besaran tarif, padahal tidak semua masyarakat di daerah memiliki penghasilan yang dapat mencukupi untuk membeli air bersih,” kata dia.
Belum lagi dengan adanya fakta, bahwa PDAM masih mengandalkan air baku dari Kalimalang yang bersumber dari Kali Bekasi. Sementara air baku Kali Bekasi sudah tercemar B3 (Bahan Beracun, Berbahaya) dari limbah industri berupa limbah obat nyamuk dan limbah industri.
“Ini yang mengakibatkan membengkaknya biaya produksi di tengah pemenuhan standar mutu. Namun apapun itu tidak dibenarkan bila PDAM sekedar mencari untung,” pungkasnya. (Ical)