Korupsi, PR Utama Rahmat Effendi di HUT 19 Kota Bekasi

Kota Bekasi telah menginjak usia 19 tahun. Ini adalah usia yang muda bagi sebuah kota. Dengan kompleksnya problematika, apa yang sebenarnya menjadi prioritas untuk diselesaikan?

Pekerjaan rumah utama Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi adalah korupsi. Tanpa komitmen pemberantasan korupsi yang tinggi, sejuta program pembangunan pun tidak akan berarti apa-apa bagi masyarakat.

Setiap tahun, ratusan miliar rupiah digelontorkan Pemerintah Kota Bekasi untuk program infrastruktur. Rahmat Effendi bahkan menyebut tahun 2016 adalah tahun infrastruktur: 60 persen anggaran bermuara ke sana.

Anggaran sebesar itu diyakini bisa mengentaskan sejumlah masalah Kota Bekasi yang langsung berhadapan dengan masyarakat seperti jalan rusak dan banjir. Sayang, korupsi turut ambil bagian di sana.

Salah satu kasus yang bisa menjadi bahan evaluasi bersama adalah temuan Badan Pemeriksa Keuangan pada kegiatan yang dilakukan Dinas Bina Marga dan Tata Air Kota Bekasi di tahun 2014.

Kegiatan yang dimaksud ialah penanggulangan banjir di Perumnas 3, Arenjaya, Bekasi Timur. Melalui mekanisme lelang elektronik, proyek senilai Rp 4,6 miliar itu dimenangkan perusahaan swasta.

BPK menyebut keuangan negara rugi Rp 1,6 miliar akibat adanya mark up atau pemahalan harga pada pembelian material proyek.

Sejak awal, lelang proyek itu juga dimanipulasi. Enam dari tujuh peserta lelang terbukti berada dalam satu kendali. Bukti itu terlihat dari kesamaan ip client atau jaringan internet dan dokumen penawaran.

Dalam pelaksanaannya, laporan harian perkembangan proyek juga dimanipulasi oleh pihak kontraktor dan pemerintah sendiri untuk memuluskan praktik mark up anggaran.

Modusnya, kontraktor membeli kebutuhan material dari perusahaan lain yang ternyata ada dalam kendali yang sama: perusahaan yang juga memiliki ip client dan dokumen sama saat proses lelang.

(Baca: 7 Persekongkolan Jahat Proyek Banjir Kota Bekasi)

Rahmat Effendi dan Ketua DPRD sebenarnya punya wewenang untuk melaporkan kasus itu ke penegak hukum, karena merekalah yang menerima laporan BPK pertama kali. Kejaksaan pun semestinya berinisiatif menindaklanjuti.

Sayangnya, ketiga pihak itu memilih bungkam. Dalam rekomendasi DPRD kepada Pemkot Bekasi, mengenai laporan BPK, tidak ada satu poin pun yang menyentuh persoalan tersebut. Ini ganjil.

Ada dugaan, pihak kontraktor dan Pemkot Bekasi, dalam hal ini Dinas Bina Marga dan Tata Air, ‘menyelesaikan’ kasus ini dengan DPRD–agar tidak merembet ke mana-mana. Alat tukarnya adalah proyek di tahun 2016.

Salah satu indikasinya, jatah proyek aspirasi anggota dewan atau disebut pokok pikiran (pokir), naik dua kali lipat dari yang direncanakan di awal. Rp 130 miliar menjadi Rp 290 miliar. Fantastis.

Menariknya, sejumlah anggota dewan sendiri merasa terkaget-kaget dengan lompatan anggaran itu. Sejumlah anggota mengatakan hanya mendapat rata-rata sekitar Rp 4 miliar anggaran. Bahkan ada yang kurang dari itu.

Jika ada 50 orang anggota dewan, maka anggaran aspirasi sebenarnya berkisar di angka Rp 200 miliar. Ke mana Rp 90 miliar? Pertanyaan ini sulit dijawab, karena masing-masing anggota dewan menutupi jatah anggaran mereka.

Yang jelas, sejumlah anggota dewan mengatakan bisa mengantongi persentase 5 persen dari total proyek yang mereka dapatkan. Meskipun, belum tentu semua anggota dewan mengambil persentase itu.

(Baca: Orang-orang ‘Penggelap’ Kasus Korupsi di Kota Bekasi)

Temuan BPK yang kita bicarakan ini sangatlah aktual, karena laporan untuk tahun 2014 dikeluarkan lembaga negara independen itu pada pertengahan tahun 2015. Jadi, sampai saat ini, laporan itulah yang terbaru.

Selain itu, temuan ini cukup menggambarkan bobroknya pengelolaan daerah: dari eksekutifnya, legislatifnya, yudikatifnya, sampai pihak swasta yang terlibat di dalamnya.

Integritas

Selama 19 tahun berdiri, ujian terberat bagi Kota Bekasi adalah korupsi. Masalah ini telah menjadi beban traumatik tersendiri dalam beberapa tahun terakhir.

Sejumlah pejabat Kota Bekasi di lingkaran utama kekuasaan pernah terjerat kasus korupsi dan harus menjalani proses hukum yang ada. Kasus serupa juga bisa dijumpai di banyak daerah.

Kunci utama penyelesaiannya adalah integritas. Jika ia ibarat emas, berapa karat yang dipunyai penggede Kota Bekasi? Sudahkah 24 karat, atau hanya 1 karat saja? Pembuktianya tentu tidak segampang mengucapkan.

Menegakkan integritas berarti mau memeras otak merancang sistem, bekerja keras melaksanakannya, dan telaten mengevaluasinya secara terus-menerus. Singkatnya, berusaha menjalankan sistem pemerintahan yang baik (Good Government).

Di dalam sistem itu, transparansi adalah yang utama. Transparansi sama artinya dengan tidak menutupi segala hal yang berkaitan dengan publik: tidak menutupi anggaran, tidak menutupi korupsi, tidak menutupi masalah.

Rahmat Effendi nampaknya menyadari itu. Di awal jabatan, ia telah mencanangkan pakta integritas–semacam ikrar atau janji yang, kata lagu Ayu Ting Ting, enaknya cuma di lidah saja. Hoo ooo…

Redaksi

Tinggalkan komentar