Siapa tak kenal Basuki Tjahaja Purnama ‘Ahok’? Sejak maju sebagai wakil gubernur DKI Jakarta 2012 silam, nama Ahok terkerek–apalagi setelah ia menjadi gubernur, menggantikan posisi Jokowi yang pada 2014 melenggang ke Istana Merdeka.
Gaya kepemimpinan Ahok yang nyentrik, blak-blakan, gampang menyulut polemik dan kontroversi, membius banyak orang. Untuk level kepala daerah, Ahok pun menjadi ‘role model’.
Banyak rekan-rekan Ahok sesama kepala daerah diam-diam mengidamkannya, bahkan tertarik menerapkan gayanya di tempat masing-masing.
Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi, adalah salah satunya. Dalam beberapa kesempatan, kita bisa menyaksikan orang nomor satu di pinggiran Jakarta itu terasa seperti Ahok–yang juga koleganya di Golkar.
Baru-baru ini, misalnya, Rahmat Effendi memecat Kepala Dinas Pendidikan Rudi Sabarudin dan Kepala Dinas Sosial Agus Dharma. Hal yang sebelumnya tidak pernah dilakukan.
Di Jakarta, Ahok sudah berulang kali memecat kepala dinas. Yang terbaru, pada awal Juli 2016, Ahok memecat Kepala Dinas Perumahan dan Gedung Pemprov DKI Jakarta, Ika Lestari Aji.
Selain memecat, Ahok sering menggelar sidak (inspeksi mendadak). Dan, sudah barang tentu, Ahok akan marah besar jika mendapati keteledoran atau kekeliruan si anak buah.
Para pegawai pemerintah di Terminal Rawamangun Jakarta Timur barangkali masih ingat betul bagaimana perangai Ahok ketika sidak Juli lalu.
Di sana, Ahok mengomel lantaran fasilitas untuk kaum difabel tidak didesain dengan benar.
Di Kota Bekasi, Rahmat Effendi pun mulai gemar sidak. Seperti Ahok, ia marah-marah kepada anak buahnya yang salah–meski tidak segarang Ahok, yang terbiasa memaki dan menunjuk muka.
Belasan anggota Dinas Perhubungan adalah ‘korban’ sang wali kota. Mereka, yang sedang menggelar razia ilegal, kepergok Rahmat Effendi.
Didampingi Kepala Dishub, Yayan Yuliana, Rahmat Effendi kemudian menghukum push up mereka di Jalan Ahmad Yani atau tepat di samping komplek kantornya.
Nah, ini yang paling hot: memerangi wakil rakyat! Di Jakarta, Ahok dengan ganas mengudal-adul praktik culas legislatif yang bermain-main duit APBD. Ketegangan ini sempat menyita perhatian publik.
Di Kota Bekasi sendiri, Rahmat Effendi juga menghidupkan polemik seperti itu. Salah satunya dengan tidak memasukkan anggaran aspirasi anggota dewan dalam rancangan APBD Kota Bekasi 2017.
Serupa tapi tak sama
Meski serupa Ahok, tetap saja, Rahmat Effendi tidak akan pernah sama dengan Ahok–terutama dalam hal-hal yang teramat prinsipil.
Dalam kasus memecat Agus dan Rudi, taruhlah, Rahmat Effendi belum bisa lepas dari belenggu kepentingan politik. Sejumlah bukti menguatkan, Agus dipecat lantaran terlalu dekat dengan lawan politiknya.
Sedangkan Rudi dipecat lantaran tidak bisa mengakomodir kepentingan politikus senior Golkar yang ingin menitipkan sejumlah orang di Dinas Pendidikan agar bisa bekerja sebagai tenaga kontrak.
(Baca: Surat Sakti Orang Dekat Wali Kota)
Tidak ada alasan mendasar–berdasarkan kinerja–mengapa Rahmat Effendi memecat kedua bawahanya. Alasan penyerapan anggaran yang rendah, misalnya, tidak terbukti.
Sementara, Ahok, mampu menjelaskan sampai detail, bahkan menguliti kesalahan si anak buah. Sehingga langkah pemecatan pun diambil tanpa ragu.
Mengenai kegemaran sidak, secara kasat mata, kita bisa menilai: Ahok begitu natural ketika marah, karena memang dia pemarah. Rahmat Effendi? Rasanya tak begitu.
Saat menghukum anggota Dishub, Rahmat Effendi sepertinya luput akan hal ini: razia ilegal Dishub di samping kantornya memang sering berlangsung, mengapa kaget dan mendadak marah?
Soal polemik dengan legislatif, Rahmat Effendi nampaknya juga kurang jeli mengamati sikap Ahok.
Di Jakarta, Ahok memproteksi aspirasi anggota dewan lantaran ada indikasi kuat penyelewengan APBD–bahkan Ahok melapor ke penegak hukum.
Polemik eksekutif versus legislatif di Kota Bekasi belum jelas maksud dan tujuannya. Namun, sejumlah anggota dewan yakin betul konflik pembahasan APBD Kota Bekasi tahun 2017 memang sengaja diciptakan Rahmat Effendi.
Para ‘politikus Kalimalang’ itu pun mahfum jika nanti, di akhir laga, Rahmat Effendi tampil sebagai pihak yang dibela publik. Sedangkan mereka disudutkan.
(Baca: Panas Dingin Eksekutif Legislatif di APBD 2017)
Popularitas dan elektabilitas adalah hal yang sangat diidamkan para politikus di mana pun, terutama bagi kepala daerah yang hendak bertarung kembali dalam Pilkada.
Maka itulah, gaya Ahok menjadi semacam ‘jalan tol’ bagi Rahmat Effendi untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitasnya menjelang Pilkada 2018.
Sayangnya, mempertahankan citra politikus bersih tidaklah segampang mendulangnya. Ahok pun kini mendapati badai ujian kasus dugaan korupsi–yang bisa menguatkan atau justru menggelincirkannya.
Siap tidak siap, Rahmat Effendi juga akan mengalaminya. (Ical)