Ini fenomena menarik: sejak era Pilkada Langsung, semua wali kota Bekasi yang terpilih ternyata karir politiknya dimulai dari Kalimalang. Berlaku pula untuk wakil wali kota.
Kalimalang, di dunia politik Kota Bekasi, adalah istilah untuk merujuk kantor DPRD–karena letaknya persis di depan Kalimalang. Anggota dewan seringkali mendapatkan julukan politisi Kalimalang.
Ibarat angkutan umum, penguasa Kota Bekasi rutenya selalu sama: kalimalang dulu, Ahmad Yani kemudian. Ahmad Yani merupakan nama jalan tempat kantor wali kota Bekasi berada.
Kota Bekasi, yang berusia 20 tahun, baru menggelar Pilkada Langsung selama dua kali, yaitu tahun 2008 (untuk periode 2008-2013) dan tahun 2012 (untuk periode 2013-2018).
Mekanisme Pilkada memang berubah setelah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah berlaku. Wali kota tidak lagi dipilih DPRD, melainkan rakyat langsung yang memilihnya.
Mochtar Mohamad, politikus PDI Perjuangan, ialah wali kota Bekasi pertama yang terpilih via Pilkada Langsung tahun 2008. Pilkada ini menjadi sangat penting jika kita melihat proses transisi sistem politik yang terjadi di dalamnya.
Seorang calon wali kota di era Pilkada Langsung bukan saja mesti pandai memengaruhi para politikus, tapi juga meyakinkan publik. Strategi pemenangan pun menjadi lebih kompleks: pemetaan data yang akurat, kampanye yang masif dan efektif, biaya yang membengkak, sampai pengawasan suara yang ketat.
Sebelum menjadi wali kota, Mochtar Mohamad menjadi wakil Akhmad Zurfaih–wali kota Bekasi periode 2003-2008 dari Golkar. Menuju Ahmad Yani, keduanya bertolak dari Kalimalang. Mereka sama-sama anggota DPRD Kota Bekasi periode 1999-2004.
Rahmat Effendi, politikus Golkar, mendampingi Mochtar Mohammad sebagai wakil wali kota. Seperti Mochtar dan Zurfaih, ia juga merupakan politikus Kalimalang sejak 1999. Jabatan terakhirnya ketua DPRD Kota Bekasi.
Nasib Rahmat Effendi memang mujur. Dua tahun menjelang Pilkada 2012, Mochtar Mohamad tersangkut kasus hukum sehingga ia mesti berhenti sebagai wali kota sebelum masa jabatannya habis. Rahmat naik menjadi wali kota pengganti.
Di Pilkada 2012, Rahmat Effendi membuktikan bahwa jabatannya bukanlah warisan Mochtar Mohamad. Didampingi politikus PKS, Ahmad Syaikhu, ia menang telak dari sejumlah lawannya.
Ahmad Syaikhu juga berasal dari Kalimalang. Ia mengawali karir politiknya sebagai anggota DPRD Kota Bekasi periode 2004-2009. Periode berikutnya, ia hijrah ke DPRD Jawa Barat karena impiannya menjadi wali kota Bekasi 2008-2013 dikandaskan duet Mochtar-Rahmat.
Bagaimana pasangan lain yang bertarung di Pilkada Kota Bekasi? Melihat riwayatnya, memang, tidak ada yang tulen dari Kalimalang–kecuali pasangan pemenang. (Baca: Tiga Poros Utama Pilkada Kota Bekasi 2018)
Pada Pilkada 2008, Mochtar-Rahmat mengalahkan dua pasangan calon lain. Pertama, Ahmad Syaikhu, alumnus Kalimalang, dan Kamaluddin, birokrat. Kedua, Awing Asmawi, pengusaha, dan Ronny Hermawan, tokoh kepemudaan.
Pada Pilkada 2012, Rahmat-Syaikhu mengalahkan empat pasangan calon lain. Pertama, Dadang Mulyadi, birokrat, dan Lukman Hakim, aktor. Kedua, Sumiyati, istri Mochtar Mohamad, dan Anim Imamuddin, politikus Kalimalang. Ketiga, Awing Asmawi, sudah menjadi anggota DPRD Provinsi Jabar, dan Andi Zabidi, polikus Kalimalang. Keempat, Shalih Mangara Sitompul, praktisi hukum, dan Anwar Anshori Mahdum, tokoh keagamaan.
“Jangan sampai menjadi stigma bahwa wali kota Bekasi harus dari DPRD Kota Bekasi. Karena setiap orang memiliki hak yang sama. Jadi jangan mematahkan semangat yang lainnya. Saya kira semua berkesempatan untuk bisa jadi kepala daerah,” kata Rahmat Effendi kepada Klikbekasi.co, mengomentari fenomena tersebut.
Menurut Rahmat Effendi, premis bahwa wali kota Bekasi selalu bertolak dari Kalimalang hanyalah kebetulan saja. Tidak harus calon wali kota berasal dari sana.
“Bukan karena anggota dewan. Tapi sejauh mana ketika seorang kader partai terpilih menjadi anggota dewan dia bisa berperan menonjol dan berjuang untuk masyarakat, minimal untuk kosntituennya. Dan yang paling penting harus membangun etos kerja yang baik, bukan hanya membangun opini dan pencitraan saja. Tapi harus kerja nyata,” katanya.
Apakah menjadi anggota dewan melapangkan langkah untuk mendapatkan jabatan sebagai wali kota Bekasi? Bagi Rahmat, menjadi dewan hanya sarana untuk mempermudah memperjuangkan aspirasi masyarakat.
“Kita jadi anggota dewan dipilih, jadi ada harapan dari masyarakat. Nah, menjadi anggota dewan mempermudah untuk memperjuangkan harapan itu, minimal menjadi penyambung,” kata dia.
Mochtar Mohamad membahasakan dengan cara lain. Menurutnya, seorang politikus yang ingin berkarir bagus harus mau melakukan investasi sosial–keuntungan politik jangka panjang. Tidak harus banyak uang, karena investasi sosial memerlukan proses. Investasi tersebut bisa dalam bentuk advokasi kepada masyarakat.
Untuk dapat melakukan investasi sosial lebih banyak, seseorang perlu mengambil peran-peran strategis. Salah satunya dengan menjadi anggota DPRD. Di sana, peran itu harus digunakan sebaik-baiknya. Investasi sosial akan berhasil jika dilakukan dengan kerja-kerja politik yang terukur. Katanya, ini juga soal ilmu kepemimpinan.
“Waktu menjadi anggota dewan, saya sangat vokal. Saya pernah advokasi warga Bantar Gebang sampai gubernur DKI Jakarta waktu itu, Bang Yos (Sutiyoso), datang menemui saya langsung. Memang, seorang politikus harus sering bersentuhan dengan masyarakat,” kata Mochtar.
Kawah Candradimuka
Alkisah, dalam cerita pewayangan, Candradimuka adalah kawah lava di kahyangan yang panasnya setara tujuh kali panas api. Gatotkaca, jagoan yang sakti itu, saat kecil diceburkan ke Candradimuka dan oleh para dewata dilempari pusaka. Bukannya mati, ia justru muncul menjadi lelaki dewasa yang kuat.
Begitulah Kalimalang. Di gedung itu, politisi digembleng. Mereka bukan saja bergelut dengan tugasnya–seperti membuat peraturan perundang-undangan, mengawal anggaran, dan mengontrol kebijakan eksekutif–tapi juga terus-menerus melatih keluwesan berpolitik: dari mulai kemampuan melobi, negosiasi, diplomasi sampai kepekaan membaca momentum.
Politikus kawakan Golkar Kota Bekasi, Abdul Manan mengatakan, DPRD pada kenyataannya memang menjadi tempat bagi kader partai untuk belajar tentang banyak hal. Sehingga, wajar, jika alumni Kalimalang memiliki pengetahuan di atas rata-rata mengenai persoalan Kota Bekasi.
“Di partai, kader kita diuji untuk melakukan kegiatan operasional partai, penggalangan, hingga bertemu dengan tokoh masyarakat dan konstituen. Tapi, cukup sampai di situ saja. Di parlemenlah, kader partai mengenal lebih jauh mengenai pemerintahan, anggaran daerah, sampai undang-undang,” kata dia.
Meski semacam kawah candradimuka, tak selamanya para politikus bisa lolos uji di lembaga itu. Hanya beberapa saja yang kemudian bisa naik kelas.
Fakta membuktikan, sampai hari ini, menjelang Pilkada Kota Bekasi 2018, muka lama diprediksi masih menjadi pemain utama dalam kompetisi politik lima tahunan itu. Sebutlah Rahmat Effendi, Ahmad Syaikhu dan Mochtar Mohamad–ketiganya selalu menjadi perbincangan di kalangan politikus.
Figur-figur baru seakan sulit mencuat. Kalau pun muncul, keberadaanya belum ada yang menandingi tiga figur sentral yang dalam satu dasawarsa terakhir mendominasi kancah politik Kota Bekasi.
Beberapa penghuni lama parlemen Kalimalang bahkan urung naik level. Sebagai contoh Ketua DPRD Kota Bekasi, Tumai, Wakil Ketua DPRD Kota Bekasi, Heri Koswara, Ketua Fraksi PPP, M Said dan anggota fraksi PDI Perjuangan, Lilik Hariyoso. Mereka masih betah berkutat di Kalimalang meski sudah tiga periode di sana.
Sebagai seorang senior, Abdul Manan lantas berbagi pesan untuk para politikus di Kalimalang jika mereka ingin naik kelas seperti para pendahulunya.
“Konsisten sebagai kader partai, disiplin sebagai kader partai, dan komitmen terhadap masyarakat. Sebab kalau sudah tidak komitmen itu akan mencederai konstituen. Tapi kalau komiten, hubungan akan bagus.”
“Lalu harus belajar, jangan di DPRD cuma belajar undang-undang soal pemerintahan dan keuangan saja. Belajar kepemimpinan, penggalangan, pendekatan, musyawarah. Kalau di dalam kandang saja tidak akan terkenal, namanya tidak akan berkembang,” pesannya.
Dan, yang paling penting, kata dia, seorang politikus harus bisa membaca situasi yang ada–terutama yang berkaitan dengan keinginan masyarakat.
“Harus bisa melihat perkembangan, membaca situasi dan merespon apa yang menjadi keinginan masyarakat. Politikus harus memahami itu,” katanya.
Walaupun demikian, Abdul Manan menolak anggapan jika seorang wali kota Bekasi haruslah dari Kalimalang. Ada banyak patokan mengapa memberikan rekomendasi kepada kadernya untuk maju sebagai calon. Patokan paling utama, adalah kader tersebut merupakan kader terbaik di internal partai.
“Itu kebetulan saja (dari Kalimalang). Akhmad Zurfaih dan Rahmat Effendi kami rekomendasi menjadi calon wali kota karena mereka terbukti bagus sebagai kader partai. Kami utus kader yang terbaik untuk masyarakat,” katanya.
Kalimalang dulu, Ahmad Yani kemudian. Atau, wakil dulu, wali kota kemudian. Barangkali hanya kebetulan. Bisa juga ini semacam rumus politik yang tidak baku. (Tim)