Pelaksanaan Pemilu di Kota Bekasi diprediksi bakal berlangsung ‘Ngeri-ngeri sedap’. Sejumlah potensi kerawanan menjadi ancaman serius pada pemilu 14 Februari 2024 mendatang.
Mengacu pada Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) yang disusun Bawaslu Republik Indonesia , setidaknya ada empat dimensi kerawanan dalam pelaksanaan pemilu.
Keempat dimensi tersebut meliputi, konteks sosial politik, penyelenggaraan pemilu, kontestasi dan partisipasi.
Dari empat jenis tersebut, semuanya berpotensi timbul menjadi kerawanan di Kota Bekasi. Hanya saja memang, yang paling tinggi potensinya yaitu dimensi penyelenggaraan pemilu.
Hal ini tentu tidak lepas dari subdimensi dalam dimensi penyelenggaraan pemilu. Setidaknya ada lima sub dimensi antaralain, hak memilih, pelaksanaan kampanye, pelaksanaan pemungutan suara, ajudikasi dan keberatan, dan pengawasan pemilu.
Pada kasus Kota Bekasi, dimensi penyelenggaraan pemilu berpotensi menjadi kerawanan karena berkaitan dengan penyelenggara pemilu baik KPU Kota Bekasi maupun Bawaslu Kota Bekasi.
Dua lembaga tersebut, berpotensi menimbulkan kerawanan pemilu. Pasalnya, baik KPU atau Bawaslu punya kecenderungan bekerja tidak profesional dan bersikap tidak netral dengan kata lain memihak.
Masalah profesionalisme dan netralitas penyelenggara pemilu di Kota Bekasi sejak awal tahapan pemilu memang menjadi sorotan publik di Kota Bekasi.
Sorotan paling deras mengalir pada proses rekrutmen anggota KPU atau Bawaslu. Sudah bukan rahasia, bahwa proses rekrutmen untuk menentukan siapa yang bakal mengisi jabatan di dua lembaga tersebut berjalan dengan tidak fair.
Konon, mereka dipilih bukan karena memiliki komptensi menduduki jabatan yang mereka emban. Tapi mereka bisa duduk semata-mata karena adanya backing yang menyongkong pencalonan mereka.
Backing ini beragam asal-usulnya, bisa karena satu almamater perguruan tinggi, pernah berada di organisasi yang sama entah organisasi massa atau organisasi mahasiswa dan beragam latar belakang lainnya.
Backing ini bisasnya sudah lebih dulu masuk dalam struktur kelembagaan penyelenggara pemilu di tingkatan lebih tinggi. Misalnya di tingkat provinsi atau pusat.
Sebelum seleksi digelar, calon angggota KPU atau Bawaslu Kota Bekasi sudah terlebih dahulu berkomunikasi dengan backingnya. Inti komunikasinya, bagaimana sang backing bisa memuluskan proses pencalonan.
Masalahnya, calon anggota KPU atau Bawaslu tidak bisa sepenuhnya bergantung pada backing satu almamater atau satu bendera organisasi. Mereka kabarnya harus pula mendapat rekomendasi dari partai politik, untuk bisa menduduki jabatan tersebut.
Inilah kemudian menjadi problem, usai terpilih mereka secara otomatis telah terikat dengan partai politik. Mereka harus bisa melayani kepentingan partai politik yang memberikan dukungan. Seperti kata pepatah bilang, tidak ada makan siang gratis.
Maka tidak heran jika penyelenggara pemilu berpotensi memihak atau memiliki keberpihakan. Sebab, jauh-jauh hari telah terjadi perselingkuhan atau relasi yang tidak seharusnya terjadi.
Adanya keberpihakan jelas sebuah kerawanan yang membahayakan pada pemilu. Misalnya, dalam proses pemungutan suara, jika KPU Kota Bekasi berpihak kepada kontestan tertentu dengan tujuan memenangkan kontestan tersebut, jelas itu sangat berbahaya karena merugikan kontestan lain.
Begitu juga dalam hal pengawasan yang Bawaslu lakukan. Bisa jadi banyak pelanggaran dibiarkan begitu saja terjadi, karena Bawaslu sudah tersandera dengan kontestan pemilu. Dan desas-desus itu sudah santer berhembus jadi perbincangan publik.
Lepas dari netral atau tidaknya penyelenggara pemilu, para penyelengggara juga berpotensi tidak profesional dalam bekerja. Hal wajar, sebabnya mereka yang duduk di KPU atau Bawaslu Kota Bekasi dipilih bukan karena mempertimbangkan aspek profesionalisme dalam hal ini kecakapan. Namun seperti disinggung di awal, mereka terpilih karena adanya backing.
Jadi jangan heran, bila misalnya kita temukan ketidakprofesionalan penyelenggara pemilu. Misalnya dalam kasus terendamnya gudang logistik pemilu KPU Kota Bekasi di Bekasi Utara.
Meski tidak berdampak pada rusaknya logistik dan terjadi karena air meluap dari saluran air yang tidak berfungsi saat hujan deras. Akan tetapi, bisa juga ditarik kesimpulan, bahwa dalam penentuan lokasi gudang, KPU bertindak secara serampangan.
Serampangan dalam arti tidak mempertimbangkan sejumlah bahaya atau ancaman terhadap keselamatan logistik pemilu.
Dan mengingat penyelenggara berpotensi bekerja tidak profesional dan tidak netral, maka publik mesti berperan aktif mengawasi jalanya pemilu di Kota Bekasi. Sehingga pemilu yang jujur dan adil bisa terwujud di Kota Bekasi.
Bagi penyelenggara pemilu sendiri baik anggota KPU dan Bawaslu beserta jajaranya sudah sepaturnya bekerja profesional dan tidak berpihak. Sebab dua hal tersebut bisa menimbulkan kegaduhan dalam pemilu yang dampaknya ‘Ngeri-ngeri sedap’.
Tulisan ini merupakan Opini yang ditulis Redaksi Klik Bekasi
*Foto: ugm.ac.id