Pejuang Kemerdekaan Itu Bernama KH Noer Ali

Sebuah kabar datang dari negeri kincir angin Belanda. Rabu (14/9) lalu, Pengadilan Den Haag mengabulkan tuntutan dari keluarga korban kejahatan perang di Desa Rawagede, Jawa Barat,  yang berjarak sekitar 100 kilometer di sebelah timur Jakarta, pada 9 Desember 1947. Kerajaan Belanda diharuskan membayar kerugian bagi sekitar 400 keluarga korban yang dibantai dalam peristiwa berdarah tersebut.

Peristiwa Rawa Gede berawal dari perjuangan rakyat Bekasi dan Karawang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Adalah KH Noer Alie, seorang ulama pejuang ternama dari Bekasi, yang mengobarkan semangat perlawanan rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa.

Dua tahun setelah Indonesia memproklamirkan diri sebagai negara yang bebas dari belenggu penjajahan, Belanda melakukan Agresi Militer pada 1947. KH Noer Alie bangkit mengobarkan semangat perlawanan. Ia bergerilya di Jawa Barat memimpin pasukan Komandan Markas Pusat Hizbullah-Sabilillah (MPHS) Jakarta Raya di Karawang.

Ia memimpin pasukannya melakukan perang urat syaraf dengan memasang ribuan bendera Indonesia yang terbuat dari kertas kecil di pepohonan dan rumah penduduk.  Tentara Belanda pun murka. Mereka mencari-cari Mayor Lukas Kustaryo. Karena tak kunjung ditemukan, tentara penjajah Belanda marah dan membantai warga sekitar Rawa Gede.

Pembantaian itu telah merusak citra Belanda karena telah membantai rakyat yang tak berdosa. Aksi biadab Belanda itu dikenal  dalam laporan De Exceseen Nota. Nota Ekses itu baru dikeluarkan 20 tahun setelah peristiwa Rawagede, tapi Januari 1948 Perserikatan Bangsa-Bangsa sudah berkesimpulan aksi militer di Rawagede disengaja dan tanpa belas kasihan dan diyakini sebagai tindakan kriminal paling kejam, paling brutal, dan paling berdarah yang dilakukan Belanda dalam kurun waktu 1945 sampai 1949.

Keberanian KH Noer Ali yang begelar Si Belut Putih dan Singa Karawang-Bekasi dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia juga dibuktikan dalam Pertempuran Sasak Kapuk.Dalam pertempuran yang meletus pada 29 November 1945 itu, pasukan KH Noer Alie  melawan Sekutu di Pondok Ungu.

Pasukan rakyat yang dikomandoi KH Noer Alie sempat berhasil mendesak pasukan Sekutu lewat serangan mendadak.  Namun, situasi berbalik dan memojokkan pasukan rakyat yang sempat hampir menang. Lantaran pasukannya  terdesak sampai jembatan Sasak Kapuk, Pondok Ungu, Bekasi, KH Noer Alie akhirnya memerintahkan pasukannya untuk mundur.

KH Noer Alie tak hanya gagah dan tangguh di medan pertempuran. Ia juga adalah seorang politisi yang hebat.  Saat Indonesia merdeka, ia dipilih menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah Cabang Babelan. Pada 19 September 1945,  ia mengerahkan massa ke Lapangan Ikada untuk mengikuti Rapat Raksasa.

Ia lalu menjadi Ketua Laskar Rakyat Bekasi, kemudian Komandan Batalyon III Hisbullah Bekasi. KH Noer Alie mendedikasikan hidupnya untuk berjuang di bidang politik, pendidikan, dan sosial. Pada 19 April 1950, ia  sempat menjabati Ketua Masyumi Cabang Jatinegara, nama Kota Bekasi saat itu. Peran politiknya cukup besar. Ia tercatat sebagai salah seorang yang membidani lahirnya Kabupaten Bekasi.

Dalam bidang sosial dan pendidikan, KH Noer Alie membentuk sebuah organisasi bernama Pembangunan Pemeliharaan dan Pertolongan Islam yang kemudian berganti nama menjadi Yayasan Attaqwa. Yayasan ini merupakan induk pendidikan SRI, pesantren dan umat Islam lainnya.

Berkat jasanya yang begitu besar bagi bangsa dan negara, pada 9 November 2006 KH  Noer dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Pemerintah Indonesia menganugerahinya Tanda Kehormatan Bintang Maha Putra Adipradana. Hingga kini, masyarakat Bekasi-Karawang masih mengenang jasa-jasanya.

Patriotisme dan keberaniannya dalam membela bangsa dan negara telah menginspirasi Chairil Anwar untuk menulis puisi berjudul Karawang-Bekasi.

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi 

tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,

terbayang kami maju dan mendegap hati?

Jalan Hidup Noer Alie

KH Noer Alie lahir di Bekasi yang masih menjadi bagian dari Keresidenan Batavia tepatnya di Desa Ujung Malang, Onderdistrik Babelan, Distrik Bekasi, Regentschap Meester Cornelis. Tidak ada yang tahu kapan tepatnya pahlawan yang dijuluki Si Belut Putih itu lahir. Tidak menjadi kebiasaan bagi warga sekitar untuk mencatat peristiwa yang terjadi pada saat itu. Namun KH Noer Alie diyakini lahir pada 1914.

Ayahnya adalah seorang petani bernama Anwar bin Layu dan ibunya Maimunah binti Tarbin. Ketika berusia tiga tahun,  Alie sudah dapat berbicara bahasa ibu dan mengeja huruf. Salah satu kelebihannya yang terlihat sejak kecil adalah sikap pemimpinnya.

Ia tidak ingin tampil di belakang, tetapi ingin berada di depan dan tidak mau kalah. Hampir semua permainan yang dimainkan bersama teman-teman kecilnya selalu dimenangkannya. Sejaki kecil,  ia sudah memperlihatkan semangat belajar yang sangat tinggi.

Menginjak usia delapan tahun,  ia dikhitan dan  mulai mempelajari agama pada Maksum di Kampung Bulak. Maksum  mengajarinya mengeja huruf Arab, membaca Juz Amma, dan menghafal-hafal rukun Islam serta rukun Iman.

Alie kecil belajar agama kepada Guru Maksum selama tiga tahun, kemudian belajar pada Guru Mughni di Ujung Malang pada 1925.  Ia mulai mempelajari tata bahasa Arab, Tajwid, Nahwu, Tauhid, dan Fikih.

Noer Alie dikenal sebagai murid yang cerdas dan tekun. Ia menguasai seluruh mata pelajaran. Tak heran jika Guru Mughni amat menyayanginya. Berkat kepintarannya, Guru Mughni mempercayainya sebagai ‘’badal’’, yaitu murid yang menggantikan gurunya apabila berhalangan mengajar.

Selepas belajar pada Guru Mughni, ia mempelajari agama pada Marzuki. Di pondokan Guru Marzuki yang setingkat Aliyah itu, Noer Alie memperdalam ilmu agamanya. Seiring bertambahnya usia dan ilmu dari para gurunya, keingintahuan Noer Alie terhadap dunia luar pun semakin kuat.

Ia sangat ingin menunaikan ibadah haji ke Makkah. Awalnya, niat mulianya itu sempat diragukan guru-gurunya , mengingat kondisi ekonomi Alie. Karena niat anaknya yang sudah bulat,  ayahnya lalu meminjam uang kepada majikannya dan dibayar bertahun-tahun.

Sebelum berlayar menuju Makkah, Guru Marzuki sempat berpesan,  “Meskipun di Makkah kau belajar pada banyak Syeih, janganlah lupa belajar pada Syaeh Ali al Maliki.” Ia berangkat menuju Makkah bersama sahabatnya Hasbullah pada 1943. Di Tanah Suci itu, Noer Ali menimba ilmu selama enam tahun.

Ia pun menghubungi Syekh Ali al Maliki yang saat itu berusia 75 tahun. Beliau adalah guru dari Marzuki. Kepada sang syekh,  Noer Alie lebih banyak mempelajari Hadis.Ia juga menimba ilmu dari sejumlah ulama, seperti: Syekh Umar Hamdan tentang Kutubussittah, Syekh Ahmad Fatoni tentang fiqih dari Kitab Iqna, Syekh Muhammad Amin al Quthbi tentang ilmu Nahwu, Qawafi (sastra), dan Badi. Ia juga mempelajari ilmu politik dari Syekh Abdul Zalil.
***
Selama menimba ilmu di Makkah semangat nasionalismenya kian menggelora, setelah disindir oleh seorang pelajar asing yang belajar bersamanya. “Mengapa Belanda yang negaranya kecil dapat menjajah Indonesia? Seharusnya mereka dapat diusir dengan mudah jika ada kemauan,” kata pemuda itu.

Pernyataan itu membuat gundah hati Noer Alie. Ia lalu membentuk perhimpunan mahasiswa bersama teman-teman Indonesianya. Kelompok tersebut bernama Perhimpunan Pelajar Betawi. Tentu saja, Noe Alie tampil sebagai ketuanya.

Ketika Perang Dunia II meletus, Noer Alie memutuskan untuk kembali ke Tanah Air. Ia tiba di tanah kelahirannnya pada awal Januari 1940 dan mendirikan sebuah pesantren. Pada tahun yang sama ia menikah dengan putrid Guru Mughni, Siti Rahmah binti Mughni.

***

Setelah mengundurkan diri dari politik praktis, KH Noer Alie menyibukkan diri dengan Pesantren Bahagia yang dibangunnya. Pesantren yang tadinya berdiri di Kampung Dua Ratus ini kemudian dipindahkan ke Ujung Malang agar memudahkannya dalam proses belajar-mengajar.

KH Noer Alie juga mendirikan Madrasah Tsanawiyah dan Sekolah Persiapan Madrasah Menengah Attaqwa. Bersama pejabat pemerintah daerah Bekasi dan tokoh Islam di Bekasi ia membentuk Yayasan Nurul Islam yang salah satu programnya membangun Islamic Center Bekasi.

KH Noer Alie jatuh sakit ketika benih ‘perkampungan surga’ impiannya itu mulai dirintis. Sejak Mei 1991, ia diharuskan beristirahat banyak di tempat tidur. Sembilan bulan kemudian Kolonel Noer Alie yang memiliki julukan Singa Karawang-Bekasi itu menghembuskan nafas terakhirnya.  (Republika.co.id/Friska Yolandha)

Tinggalkan komentar