Puluhan miliar uang retribusi pelayanan persampahan di Kota Bekasi ditengarai menguap setiap tahun. Menjadi ladang basah para pejabat di Dinas Kebersihan.
Kecurigaan ini muncul dari data Pemerintah Kota Bekasi yang menunjukkan rendahnya pendapatan daerah di sektor retribusi sampah–bahkan dalam dua tahun terakhir.
Tahun 2014, misalnya, Pemkot Bekasi meraup Rp 6,5 miliar atau hanya 89,39 persen dari target Rp 7,3 miliar. Kemudian di tahun 2015, Pemkot Bekasi mengantongi Rp 6,3 miliar atau hanya 84,88 persen dari target Rp 7,5 miliar.
Rendahnya retribusi sampah tersebut menjadi sorotan. Banyak pihak tidak yakin bahwa pendapatan sebenarnya dari retribusi sampah hanya berkisar di angka Rp 6 miliar.
Anggota Komisi C DPRD Kota Bekasi, Ahmad Ustuchri mengungkapkan, selama ini Dinas Kebersihan kurang transparan soal database wajib retribusi sampah atau orang yang membayar.
“Saya yakin potensi retribusi sampah itu sangat besar. Tapi sistem pengelolaannya masih buruk,” kata Ustuchri, yang membidangi pendapatan.
Kepala Dinas Kebersihan, Abdillah, mengaku lupa ketika ditanya mengenai jumlah riil wajib retribusi secara keseluruhan di Kota Bekasi. “Saya tidak ingat,” kata Abdillah.
Meski demikian, Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 09 Tahun 2012 menjelaskan, yang dimaksud wajib retribusi sampah adalah kepala keluarga (pemilik rumah) yang menghasilkan sampah dan memeroleh pelayanan. Termasuk badan, seperti hotel, pusat perbelanjaan, pertokoan, dan lainnya.
Berangkat dari Perda tersebut, Klik Bekasi kemudian menghitung restribusi sampah berdasarkan data bangunan rumah yang tercatat ada di Kota Bekasi.
Hasilnya mencengangkan: dari data itu saja, ada perbedaan mencolok antara pendapatan yang dilaporkan Dinas Kebersihan dengan hitungan Klik Bekasi.
Jumlah rumah di Kota Bekasi tahun 2015 adalah 920.489 bangunan. Dengan asumsi setiap rumah membayar retribusi sampah Rp 3.000 (tarif terendah) saja per bulan, maka semestinya pemerintah daerah bisa menerima Rp 33.137.604.000 dalam setahun.
Fakta di lapangan, setiap rumah membayar retribusi sampah Rp 20-30 ribu setiap bulan. Kebanyakan, mekanismenya, uang retribusi dikumpulkan oleh pengurus RT atau RW, kemudian diserahkan ke UPTD tingkat kecamatan.
Angka itu belum menghitung bangunan untuk tempat usaha yang jumlahnya bisa mencapai puluhan hingga ratusan ribu. Artinya, pendapatan Rp 6 miliar per tahun terlalu kecil bagi Kota Bekasi.
Ngeri-ngeri sedap
Melihat selisih angka yang mencolok, siapa pun mudah menyimpulkan: dinas kebersihan itu ternyata tidak bersih. Ngeri-ngeri sedap, kata Sutan Bhatoegana.
Kasus korupsi retribusi sampah bukanlah barang baru di dunia ‘perkeliruan’ pemerintah daerah. Banyak pejabat yang akhirnya masuk bui karena lupa diri mengonsumsi uang sampah.
Di Medan, sebagai contoh, kejaksaan setempat menetapkan tiga orang lurah sebagai tersangka dalam kasus korupsi dana retribusi sampah. Tidak tanggung-tanggung, nilai korupsinya mencapai Rp 5,3 miliar.
Bagaimana Kota Bekasi? Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan petunjuk dalam auditnya tahun 2015–yang dikeluarkan 2016. BPK menyorot kemungkinan korupsi retribusi sampah.
BPK menemukan penggunaan langsung pendapatan retribusi oleh UPTD Dinas Kebersihan sebesar Rp 1,3 miliar tanpa mekanisme APBD sehingga terindikasi mengakibatkan kerugian daerah sebesar Rp 431 juta.
Kepala Dinas Kebersihan, Abdillah, tidak menyangkal adanya kebocoran retribusi sampah. Menurutnya, ia sudah berusaha meminimalisir dengan membina bawahannya secara intens.
Hanya saja, Abdillah enggan menjelaskan detail seberapa besar retribusi itu menguap. “Namanya di lapangan kemungkinan bocor itu pasti ada,” katanya. (Ical)