Membongkar Mitos

Sinar matahari memanggang aspal abu-abu Jalan Medan Merdeka-Jakarta. Panas sengatannya menjadi selimut semangat para aktivis mahasiswa bergerak memperingati 20 Mei sebagai hari kebangkitan nasional. Begitulah tiap kali hari kebangkitan nasional tiba, semangat bukan hanya dirasakan penulis saat masih menjadi aktivis mahasiswa beberapa waktu silam, namun juga sampai saat ini semangat perjuangan juga diteriakan oleh para aktivis mahasiswa, ormas dan seluruh elemen masyarakat dengan berbagai cara, muali dari aksi turun kejalan, seminar, orasi dan lain sebagainya.

20 Mei menjadi tanggal persatuan seluruh elemen masyarakat, mereka bersama-sama meneriakan satu tujuan yang sama yakni kebangkitan nasional dengan berbagai model prilakunya. Kesamaan semangat dan tujuan menunjukan bahwa 20 Mei telah menjadi mitos sebagai hari kebangkitan nasional. Yah, 20 Mei telah menjadi tanggal sakral yang telah di-mitos-kan.

Mircea Eliade ahli ilmu perbandingan agama mengatakan bahwa mitos mampu membangun suatu model prilaku, dan mitos dapat memberikan pengalaman religius.

Taufik Abdulah seorang sejarawan memberikan gambaran yang apik tetang mitos, menurutnya mitos sesungguhnnya bagian penting dari kehidupan sosial, mitos menjadi ruh yang menghidupkan. Tak satu komunitas pun bisa bertahan hidup lama tanpa adanya mitos peneguh, yang bercorak integratif. Apapun bentuk dan coraknya, baik yang sengaja dibentuk untuk keperluan tertentu, entah keperluan sosial keagamaan, partai politik dan apalagi yang tumbuh berdasarkan kesamaan sejarah dan hasrat ideologis seperti bangsa memerlukan mitos.

Nah, Ketika 20 Mei 1908 sebagai hari kelahiran Budi Utomo telah melembaga dalam sebuah mitos sebagai hari kebangkitan nasional pertama, dan kini dibicarakan kembali hari ini, kita tak akan pernah bisa memahami secara utuh semangat dan nilai-nilai yang mendorong kebangkitan nasional jika hanya berhenti pada 20 Mei yang sudah dimitoskan tersebut. Kita dipaksa keluar dari mitos tersebut. Karena jika mitos yang digunakan sebagai sudut pandang sejarah, maka yang tampak adalah peristiwa yang telah dimitoskan saja. 20 Mei bak bagian kepala saja dari seekor burung sementara proses yang ada sebelumnya atau tubuh dan kaki burung tersebut luput dari perhatian dan tak kelihatan.

Cerita Mahabrata bisa dijadikan ibroh betapa mitos disatu sisi meneguhkan keyakinan namun disisi lain sering menafikan yang lain sehingga pandangan kita terhadap sesuatu tidak utuh. Alkisah suatu hari para Pandawa muda belajar memanah seekor burung diatas pohon, sang guru bertanya, apa yang kalian lihat? Duryudana mengatakan melihat burung besar, dahan ranting, begitu juga dengan Dursasana dan Yudistira. Ketika anak panah mereka dilepaskan dari busurnya hanya anak panah Arjuna yang tepat menembus kepala burung tersebut. Sang guru bertanya kepada Arjuna, kenapa kamu bisa melakukan hal tersebut. Arjuna menjawab, aku tidak melihat apapun kecuali kepala burung.

Begitulah ketika kita melihat kebangkitan nasional yang berhenti pada peristiwa 20 Mei yang sudah di-mitos-kan, kita seperti Arjuna saat belajar memanah yang hanya melihat kepala burung. Seakan-akan kelahiran Budi Utomo telah menyimpulkan semua peristiwa dalam priode itu.

Untuk memahami masalalu kita tidak bisa berhenti pada peristiwa 20 Mei saja akan tetapi idealnya kita juga harus melihat secara utuh burung tersebut, ranting, dahan, pohon bahkan hutan. Mungkin seketika sasaran kita akan buyar namun dengan melihat secara utuh kita lebih dimungkinkan untuk sadar dan memahami sepenuhnya tempat dan sasasaran kita. Hanya dengan keluasan pandangan yang tidak dikungkung oleh mitoslah masa lalu akan lebih mungkin dapat dipahami. Dengan begitu, hidup yang harus dilalui ke depan bisa dijalani dengan percaya diri dan bidikan semakin mantap.

Semangat Membangun Bekasi

Lahirnya Budi Utomo dilatarbelakangi dari semangat kesamaan sebagai kaum terjajah. Semangat untuk bersatu dengan meniadakan nasionalisme relegius, suku dan ras. Maka dapat ditarik sebuah garis simpul bahwa berdirinya Budi Utomo merupakan langkah awal rakyat Indonesia untuk membebaskan diri dari penjajah. Kesamaan nasib dan kesamaan visi-misi menjadi bangsa yang merdeka menjadi bingkai pemersatu.

Nah, dengan merayakan peristiwa kelahiran Budi Utomo maka sesungguhnya kita berupaya untuk menghadirkan kembali semangat kesamaan masa lalu dalam kehidupan kita saat ini di sini sebagai warga negara Indonesai untuk bersama-sama membangun negeri ini.

Dalam konteks Kota Bekasi hari ini, semangat kesamaan dalam membangun Bekasi yang cerdas, sehat dan ihsan belum hadir khsusnya antara SKPD satu dengan SKPD yang lain.

Lihat saja misalnya, Pemkot Bekasi telah menjadikan pendidikan sebagai
program prioritas namun program prioritas tersebut tidak didukung dengan program-program SKPD lain. Begitu banyak papan reklame di jalan utama Kota Bekasi tapi mayoritas papan iklan tersebut diisi oleh iklan komersial yang jauh dari nilai-nilai pendidikan. Ini bukti kecil, belum lagi soal galian kabel atau pipa air yang berusak jalan. Bagaimana Pemkot bisa bekerjasa dengan masyarakat dalam membangun Bekasi kalau antar SKPD saja belum jalan beriringan?

Melalui hari kebangkitan nasioanal semoga mengingatakan kembali betapa pentingnya nilia-nilai kesamaan, semangat yang menafikan ego SKPD sehingga visi-misi Kota Bekasi benar-benar hidup di Bumi Bekasi ini. Mengutip pernyataan seorang filosof eksistensialis swedia, Kierkegaard “hidup dilalui kedepan tetapi dipahami kebelakang”. Selamat Hari Kebangkitan Nasional. (Wallahu A’lam)

Untitled-300x292

 

 

Penulis: Hamdi, Sekretaris Ikatan Alumni UIN (IKALUIN) Syarif Hidayatullah Cab. Bekasi Raya

Tinggalkan komentar