Kerjasama pengelolaan pasar tradisional di Kota Bekasi oleh pihak ketiga atau swasta bakal ditinjau ulang lantaran tidak berjalan sesuai harapan.
Pemkot Bekasi mengeluh, banyak kerjasama berjalan tidak sesuai dengan kesepakatan. Tak bikin untung malah bikin buntung.
Pasar Pondokgede adalah salah satu contohnya. Dikelola oleh swasta dengan harapan memberikan kontribusi kepada pedapatan daerah faktanya tidak demikian.
Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disdagperin) Kota Bekasi, Tedy Hafni menyebut pengelolaan Pasar Pondokgede tidak berjalan sesuai dengan perjanjian kerjasama.
Selain Pasar Pondokgede, masih ada beberapa kerjasama pengelolaan pasar milik Pemkot Bekasi oleh swasta yang berjalan tidak sesuai perjanjian kerjasama.
“Harapannya tentu bisa berkontribusi kepada daerah. Namun demikian terkadang kerjasama tidak berjalan sesuai dengan harapan kita,” kata dia.
Tidak mulusnya kerjasama pengelolaan pasar milik pemerintah oleh pihak ketiga membuat Pemkot Bekasi bakal meninjau atau mengkaji ulang perjanjian kerjasama tersebut.
“Nanti akan kita kaji akan kita evaluasi isi perjanjian kerjasama pasar-pasar tersebut. Kalau memang pihak ketiga masih mampu dan ingin melanjutkan kita kasih kesempatan. Namun jika tidak akan kami ambil kembali agar dikelola pemerintah, ” ujarnya.
Sejauh ini kata dia, dari total 15 pasar milik Pemkot Bekasi, sebanyak 7 pasar dikelola oleh swasta diantaranya, Pasar Pondokgede (Pertokoan Pondokgede), Atrium Pondokgede, Pertokoan Kranji, Pertokoan Bekasi atau Pasar Proyek, Pasar Baru Bekasi, Pasar Teluk Buyung dan Pasar Kranggan.
Sedangkan 4 pasar lagi sedang dalam proses revitalisasi pihak swasta antaralain, Pasar Bantargebang, Pasar Kranji, Pasar Jatiasih, Pasar Kranji Baru.
Adapun 4 pasar yang dikelola sendiri oleh pihak Pemkot Bekasi yaitu, Pasar Wisma Jaya, Pasar Harapan Jaya, Pasar Wisma Asri dan Pasar Bintara.
Dari 15 pasar tersebut, Pemkot Bekasi hanya bisa mendapat pemasukan Rp 14 miliar satu tahunnya merujuk pendapatan pada tahun 2021 lalu.
Pandemi Covid-19 selama dua tahun lebih menurutya cukup berdampak pada pasar-pasar tradisional. Selain sepi pembeli, banyak pedagang gulung tikar ikut mempengaruhi pemasukan pasar-pasar di Kota Bekasi.
“Banyak kios-kios di pasar itu kosong.Terutama kios yang menjual pakaian,” kata dia.
Selain pandemi, tumbuhnya pasar-pasar modern dan perubahan pola belanja masyarakat yang mulai akrab dengan cara online membuat posisi pasar tradisonal kian terdesak.
“Yang pengaruh banget itu belanja online. Orang sekarang lebih suka online dari pada datang langsung. Mal saja sudah banyak yang sepi,” terangnya.
Selain tak berjalan sesuai harapan, pengelolaan pasar oleh pihak ketiga kerap memicu persoalan antara pihak pengelola dengan pedagang.
“Saya sering sekali mendapat laporan seperti ini. Mau tidak mau kalau ada persoalan ya kita turun tangan duduk bersama mencari solusi,” kata dia.
Pengelolaan pasar oleh pihak ketiga tak selalu merugikan. Pasar Pertokoan Kranji misalnya, memiliki kontribusi maksimal dari sisi pendapatan untuk Pemkot Bekasi.
“Kalau yang bagus saat ini Pertokoan Kranji. Itu dikerjasamakan dengan pihak ketiga tapi kontribusinya bagus sejauh ini, pengelolaanya juga, ” tandasnya.
Selain pasar milik pemerintah, pasar lingkungan yang dikelola oleh perorangan atau kelompok juga banyak di Kota Bekasi. Totalnya ada sekitar 40 lebih se-Kota Bekasi.
“Banyak pasar-pasar di perumahan, di lahan fasos fasum (fasilitas sosial fasilitas umum) atau tanah pribadi milik perorangan. Kalau itu mereka bayar pajak langsung ke Badan Pendapatan Daerah (Bapenda),” pungkasnya.(Ical)