Dokumen laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) sesungguhnya bisa menjadi titik awal untuk menindak kasus korupsi. Di Bekasi, ada pejabat eselon II yang kantongnya lebih tebal dari wali kota.
Dengan APBD 2016 Rp 4,4 triliun–di antaranya belanja langsung urusan Rp 2,5 triliun–Kota Bekasi tergolong lebih rawan korupsi jika dibandingkan dengan daerah lain.
Sejumlah kasus yang mengemuka menguatkan itu. (Baca arsip: #Korupsi di Kota Bekasi)
Hasil pencatatan kami, sektor pengadaan barang dan jasa adalah yang paling rawan korupsi. Disusul sektor tata ruang.
Ada dua SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang disinyalir menjadi lumbung korupsi di sektor pengadaan barang dan jasa. Adalah Dinas Bina Marga dan Tata Air (Disbimarta) dan Dinas Bangunan dan Permukiman (Disbangkim).
Kedua SKPD tersebut memiliki anggaran belanja langsung yang paling besar, masing-masing sekitar Rp 555 miliar bagi Disbimarta dan sekitar Rp 445 miliar bagi Disbangkim.
Di sektor tata ruang, ada Dinas Tata Kota. SKPD ini disebut-sebut menjadi sarang ‘birokrat koboi‘ yang berani mengutak-atik peruntukan lahan demi pengusaha properti.
Berdasarkan penelusuran kami atas dokumen LHKPN milik para pejabat eselon II Kota Bekasi, Kepala Disbimarta Tri Adhianto memiliki harta kekayaan yang terbesar: Rp 7.247.248.355.
Tri tercatat melaporkan dokumen itu pada 2013. Harta kekayaannya melebihi Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi yang cuma Rp 5.264.147.663 pada 2012 dan Rp 7.173.949.728 pada 2015.
Jika kuasa memengaruhi harta kekayaan, apakah Kepala Disbangkim Dadang Ginanjar juga membuntut Tri? Sayang, KPK tidak merilis dokumen LKHPN Dadang di situs resminya.
Meski demikian, orang dekat Dadang menyebut koleganya itu kaya raya. Di rumahnya, Dadang bahkan mengoleksi mobil mewah yang harganya di atas setengah miliar rupiah. “Tidak kalah dengan Tri,” katanya.
Kepala Dinas Tata Kota Koswara menyusul di bawahnya. Dalam laporannya pada 2013, Koswara memiliki harta kekayaan Rp 2.306.917.142.
Diikuti Sekretaris Daerah Rayendra Sukarmdaji Rp 2.270.940.648 (laporan 2014) dan Kepala Badan Kepegawaian Daerah Reny Hendrawati Rp 2.100.824.215 (laporan 2012).
Pejabat eselon II lain masih di bawah mereka, bahkan banyak yang jauh tertinggal. Kepala Dinas Pendapatan Daerah Aan Suhanda, sebutlah, memiliki harta kekayaan Rp 233.416.345.
Bagaimana dengan Wakil Wali Kota Bekasi Ahmad Syaikhu? KPK hanya merilis laporan harta kekayaan pada 2007, ketika Syaikhu masih anggota DPRD Kota Bekasi: nilainya ratusan juta. Tidak ada pembaruan.
Sejak 2009, Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keungan (PPATK) tidak jemu-jemunya mempelajari kekayaan para pejabat di seluruh Indonesia.
Data–lengkap dengan analisa–dipasok ke penegak hukum untuk membantu mengungkap kasus korupsi.
Hingga 2014, misalnya, PPATK menemukan lalu-lintas transaksi mencurigakan di rekening 26 bupati. Total transaksinya mencapai 1,3 triliun. Ada juga transaksi belasan gubernur yang mencapai ratusan miliar.
Uang di rekening para pejabat itu mengalir ke mana-mana: ke kolega, ke pembantu-pembantunya di pemerintahan, hingga ke sanak famili.
“Yang mencurigakan karena jumlah uang itu tidak sesuai dengan gaji yang mereka dapat,” jelas Kepala PPATK Muhammad Yusuf dalam beberapa kali konferensi pers.
Kewajiban melaporkan LHKPN ke KPK ternyata tak membuat para pejabat hilang akal.
Para pejabat, dengan modus yang cenderung sama, berusaha mengutak-atik sumber kekayaannya. Mereka mencantumkan segala bidang usaha dalam laporan hartanya sebagai kamuflase.
Setelah PPATK dan penegak hukum menelusuri, uang bersumber dari usaha sang pejabat tidaklah benar nilainya–malah ada yang fiktif.
“Uang itu rupanya diperoleh dari proyek-proyek yang ada di daerahnya,” kata Muhammad Yusuf.
Agar tidak tercatat–selain mengalirkan ke pihak lain–para pejabat menggunakan uangnya untuk bersenang-senang seperti menikmati hobi, melancong, membeli barang-barang, atau mendandani rumah.
Demikiankah pejabat Kota Bekasi? (Ical)