Korupsi di sektor tata ruang belum menjadi sorotan banyak pihak. Padahal, korupsi tata ruang bisa membawa dampak buruk bagi lingkungan. Pengamat Tata Ruang, Yayat Supriatna, menjelaskan bahwa korupsi tersebut tidak sebatas pada perizinan.
“Secara umum, tidak semua penyimpangan pemanfaatan ruang disebabkan masalah perizinannya. Ada berbagai faktor,” kata Yayat seperti dilansir dalam opininya di klikbekasi.co. (Baca: Korupsi (R)uang di Tata Ruang).
Salah satu modus yang sering dilakukan pejabat ialah dengan mengganti peruntukan lahan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kota. Biasanya, pejabat memanfaatkan itu tiap kali melakukan revisi tata ruang, yaitu sekali dalam lima tahun.
Siapa yang menyuap dan siapa yang disuap? Yang menyuap adalah pihak yang menginginkan “lahan incaran”. Suap terjadi karena lahan tersebut sebenarnya tidak bisa dimiliki atau dibangun oleh si pengincar. Dengan kata lain, jika dibangun, lahan tersebut menyalahi aturan tata ruang.
Untuk memuluskan niatnya itu, si pengincar kemudian berkomplot dengan pejabat pemegang kebijakan. Si pengincar lalu memberikan hadiah kepada pejabat yang “berjasa” itu. Bentuk suapnya bisa bermacam-macam: uang, saham, atau barang.
Contoh kasus yang bisa menjadi pelajaran mengenai korupsi di tata ruang adalah penangkapan mantan Bupati Bogor Rahmat Yasin oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun lalu.
Rahmat Yasin menerima suap Rp 4,5 miliar dari pengembang perumahan PT Bukit Jonggol Asri. Ia mengkonversi hutan lindung seluas 2.754 hektar menjadi lahan untuk perumahan. Caranya, ia mengubah rencana tata ruang. Dengan kekuasaannya, Rahmat Yasin melakukan aksinya dengan mudah.
“Perlu keberanian untuk menyatakan TIDAK, dengan menolak semua bentuk penyimpangan. Jika terjadi pembiaran maka, kerugiannya tidak hanya ditanggung untuk saat ini, tetapi berkelanjutan di masa depan,” kata Yayat. (AN)