Hari-hari ini publik dikejutkan oleh keinginan sejumlah anggota DPR mengubah mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) dari secara langsung menjadi tak langsung atau kembali dipilih oleh DPRD.
Upaya itu dilakulan melalui pengesahan RUU Pilkada yang merupakan revisi atas UU Nomor 32 Tahun 2004 jo UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemda (Pemerintah Daerah, -red) yang berlaku mulai September 2014. Sesungguhnya, selama ini sejumlah efek negatif dari pilkada langsung ”tak seberapa” bila dibanding efek positifnya.
Kita bisa mencontohkan kemunculan pemimpin politik yang progresif dan merakyat seperti Jokowi, kemenguatan iklim politik, perekrutan calon kepala daerah yang akuntabel dan transparan, kemeningkatan partisipasi masyarakat, dan program kerja kepala daerah yang bisa langsung dikontrol oleh rakyat pemilihnya.
Lebih dari itu, titik berat politik otda (otonomi daerah) 1999-2014 adalah pada model perekrutan kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat. Dalam praktik politik sentralisasi semasa era Orba, rakyat tidak memiliki akses langsung untuk memilih kepala daerah sehingga gubernur dan wali kota/bupati cenderung loyal kepada DPRD yang memilihnya, ketimbang kepada rakyat.
Itulah sebabnya semasa Orba pilkada dianggap hanya sebagai isu elite dan berlingkup terbatas. Artinya, hanya mereka yang memiliki jejaring politik dengan elite kekuasaan politik lokal, terutama DPRD, yang terlibat dalam proses pilkada. Akibatnya, para kandidat yang akan dipilih pun hanyalah mereka yang dekat dengan DPRD.
Kemunduran Demokrasi
Pengalihan model pilkada, dari secara langsung oleh rakyat ke sistem perwakilan lewat DPRD, sesungguhnya mencerminkan kemunduran demokrasi.
Masyarakat diajak untuk kembali ke model pilkada era Orba dan hal itu berbahaya bagi upaya pelembagaan demokrasi di daerah yang mulai membaik, akhir-akhir ini. Bila pilkada secara langsung dianggap melahirkan ekses negatif, penyikapannya bukan dengan cara mengembalikan mekanisme pilkada oleh DPRD. Solusi cerdasnya adalah cukup membenahi regulasi teknis pilkada.
Misalnya kembali mengatur cara pencalonan yang lebih demokratis dan transparan, membatasi biaya kampaye dan sosialisasi, dan tegas menghukum pelaku politik uang. Bila konteksnya untuk menghemat anggaran, pemerintah bisa mencoba menggelar pilkada serentak secara nasional, atau mengembangkan model pilkada dengan teknologi E-voting.
Bila pilkada langsung dianggap membebani keuangan daerah, solusi pembiayaannya tidak lagi melaibatkan APBD, tapi penuh melalui APBN, seperti pilpres. Memang, ongkos pilkada pilkada tidak langsung melalui DPRD ”relatif murah” mengingat spektrumnya hanya di seputar gedung DPRD. Tapi itu tak menjamin bebas dari praktik politik uang bila mental anggota DPRD belum berubah.
Realitasnya, anggota baru DPRD yang terpilih dalam Pileg 2014 adalah produk sistem pemilu proporsional dengan suara terbanyak. Kebanyakan dari mereka dipilih bukan berdasarkan kualitas moral, kapasitas kepemimpinan politik, dan pengalaman sebagai politikus melainkan lebih mendasarkan pada kepopuleran dan uang.
Karena itu, andai kembali diberi kepercayaan memilih kepala daerah, dipastikan mereka hanya memilih calon yang bersedia diajak berkonspirasi politik lewat barter proyek dan kebijakan.
Bila itu yang terjadi berarti pilkada lewat DPRD justru menyuburkan praktik korupsi sistemik di daerah. Jadi, ’’murahnya’’biaya pilkada melalui DPRD tidak sebanding dengan ekses negatif jangka panjangnya, terutama berkait jalannya pemerintahan di daerah. Mekanisme pilkada oleh DPRD bukan saja mematikan partisipasi politik rakyat dalam menentukan pemimpin politik melainkan juga menyuburkan politik oligarki yang merupakan musuh demokrasi.
Bahaya lain bila kepala daerah dipilih oleh DPRD adalah posisi kepala daerah lebih rendah dari yang memilih, padahal sistem politik otda menempatkan keduanya dalam posisi sejajar. Artinya, DPRD tak bisa mengganti kepala daerah di tengah jalan (impeachment), dan sebaliknya kepala daerah tak bisa membubarkan DPRD. Keduanya justru harus saling mengontrol dan melengkapi, bukan saling memusuhi, apalagi berbenturan.
Andai kepala daerah dipilih DPRD, kebijakan publik yang dirancang kepala daerah berisiko kerap diganggu oleh politik tirani mayoritas legislatif. Bahkan kinerja dan pertanggungjawaban kepala daerah cenderung disandera oleh kepentingan ekonomi-politik anggota DPRD. Itulah sebabnya pilkada melalui DPRD hanya akan menciptakan ketidakstabilan politik di daerah.
Bahaya berikutnya andai kepala daerah dipilih oleh DPRD adalah terjadi diskoneksitas sistem pemerintahan presidensial murni antara pemerintah pusat dan daerah yang dianut sejak amendemen UUD 1945 yang berciri utama presiden dan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Jika yang dipilih langsung hanya presiden, sementara kepala daerah dipilih oleh DPRD maka terjadi anomali sistem pemerintahan presidensial.
Hal itu mengingat yang memiliki legitimasi politik kuat hanyalah presiden, sedangkan kepala daerah justru lemah. Di titik ini dipastikan pemerintahan tak efektif dan tak efisien karena kepala daerah tak lagi loyal kepada presiden dan rakyat tapi lebih loyal kepada DPRD yang telah memilihnya. (10)
*Dr Agus Riewanto, dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
(Suara Merdeka)