Site logo

Dira, Relawan Pengajar yang Giat Ajarkan Budaya Hidup Bersih

Di daerah Pasar Rebo, Jakarta Timur, ada sekelompok relawan pengajar bernama Sahabat Anak. Di tempat ini, ada sekitar 30 anak usia sekolah yang rutin mengikuti bimbingan belajar bersama Sahabat Anak. Salah satu relawan pengajarnya adalah Dira Noveriani Hanifah.

Dira masih berusia sangat muda. Ia lahir di Jakarta pada 8 November 1997 dari orangtua yang asli kelahiran Jawa.

Siswi kelas XII Lab School, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, itu selalu meluangkan waktu senggangnya pada hari Minggu untuk bertemu anak didiknya di Pasar Rebo. Ia memerlukan waktu sekitar satu jam dari rumahnya di Cimanggis menuju lokasi mengajar.

Dira mendapat tugas mengajar Matematika dan Bahasa Inggris untuk anak-anak usia 7-9 tahun, setiap hari Minggu, mulai pukul 15.00-17.00 WIB. Kegiatan ini telah rutin ia jalankan sejak sekitar enam bulan lalu. Tanpa honor, tanpa pamrih.

Dira bergabung dengan Sahabat Anak karena terdorong ingin mencari wadah yang tepat untuk menumpahkan hasrat sosialnya. Setelah mendapat informasi, ia pun mendaftar dan resmi menjadi relawan Sahabat Anak mulai April 2014.

Selain mengajar Matematika dan Bahasa Inggris, Dira juga getol mengedukasi anak didiknya tentang pentingnya budaya hidup sehat. Ia menularkan cara hidup sehat dari hal paling sederhana, yakni mencuci tangan dan membersihkan diri sehabis buang air.

“Budaya hidup bersih adalah hal kecil yang memberi dampak sangat besar,” kata Dira saat ditanya mengenai makna hidup sehat untuknya, di Jakarta, Senin (17/11/2014).

Setali tiga uang, Dira seperti mendapat keuntungan ganda menjalankan kegiatannya sebagai relawan. Pasalnya, kini Dira dapat memenuhi syarat mempunyai pengalaman menjadi relawan untuk masuk di salah satu universitas di Amerika Serikat.

Ya, setelah lulus dari SMA, Dira ingin melanjutkan studi di Negeri Paman Sam tersebut. Bidang studi yang ia ambil adalah psikologi, satu disiplin ilmu yang telah ia sukai sejak di bangku SMP.

Mengenai budaya hidup sehat, Dira anggap itu sebagai hal mutlak. Ia coba menularkan pemahaman itu kepada anak didiknya dengan cara bercerita atau diselipkan di tengah-tengah pelajaran yang ia sampaikan.

Keinginan Dira untuk terjun dan bertindak nyata mewujudkan budaya hidup bersih mulai berkecamuk di dalam benaknya sejak kelas X SMA. Momentumnya adalah saat ia ikut study tour bersama sekolahnya ke sebuah desa di Jawa Barat.

Dira menceritakan, desa yang menjadi lokasi study tour itu cukup terpencil dan saat itu sulit mendapatkan sinyal untuk menggunakan telepon seluler. Di desa itu juga masyarakat setempat masih buang air besar (BAB) di sungai yang airnya juga digunakan untuk mencuci pakaian, mandi, dan memasak.

“Dari situ saya sering complain. Sampai akhirnya saya pikir enggak bisa cuma complain doang. I have to do something. Kalau cuma complain tapi do nothing, ya enggak akan mengubah apa-apa,” ujar Dira.

Apa yang dikerjakan Dira untuk menularkan budaya hidup sehat kepada anak didiknya tentu tak langsung membuahkan hasil. Hidup bersih adalah budaya, hanya kesabaran dan semangat tanpa lelah yang mampu mewujudkannya. Terlebih, anak-anak yang ia ajari telah berusia di atas tujuh tahun, di mana kebiasaan anak-anak telah terbentuk dan perlu kesabaran khusus untuk mengubah kebiasaan itu ke sisi yang lebih positif.

“Anak-anak sebenarnya tahu hidup bersih, tapi sulit membiasakannya,” ungkap Dira.

Dari banyaknya pengalaman sebagai relawan pengajar, salah satu hal yang tak bisa dilupakan Dira adalah saat dirinya harus membantu seorang anak membersihkan diri setelah buang air besar (BAB). Dira tak sampai hati karena anak perempuan berusia tujuh tahun itu tidak membersihkan dirinya dengan baik.

“Akhirnya saya yang bantu nyebokin. Ini beneran. Abisnya saya kasihan,” ujar Dira.

Pengalaman itu didapat Dira saat menjadi relawan di Jambore Sahabat Anak, Agustus 2014 lalu, di wilayah Jakarta Selatan. Acara tersebut rutin digelar selama dua hari pada setiap tahunnya dan dihadiri ratusan anak dari beberapa daerah di Indonesia.

Putri ketiga dari empat bersaudara itu melanjutkan, dirinya juga terkejut begitu mengetahui masih ada permukiman di Jakarta yang tak memiliki fasilitas BAB memadai. Tempat BAB hanya tersedia di luar rumah, digunakan bersama warga yang berdomisili di permukiman tersebut.

Selama jambore digelar, selama itu juga Dira harus menahan hasrat tidak buang air kecil dan BAB. Alasannya karena kondisi tempat buang hajat yang buruk sehingga Dira tak sampai hati ikut menyumbang potensi penyebaran penyakit.
“Saya nahan pipis selama 48 jam sampai saya sakit, demam,” ungkapnya.

Dira menuturkan, buruknya infrastruktur sanitasi ditambah lemahnya kesadaran hidup sehat sangat berdampak buruk bagi generasi masa depan. Masalah ini dapat menyebabkan masyarakat terkena diare. Tak heran, kata Dira, jika diare menjadi penyebab meninggalnya dua pertiga bayi di Indonesia.

Remaja yang hobi tari-tarian tradisional ini melanjutkan, dirinya ingin menularkan kepedulian hidup sehat kepada semua orang yang ditemui. Dira tak ingin kehilangan harapan. Ia yakin bahwa semangat hidup bersih akan tertanam jika terus dicoba pada setiap waktunya.
Karena kegigihannya mengedukasi anak-anak untuk hidup sehat, Dira pun dipilih dalam Project Sunlight sebagai pemimpin masa depan dari Indonesia untuk menyampaikan gagasannya.

Sumber: kompas

Comments

  • No comments yet.
  • Add a comment
    Home
    Mulai Menulis
    News