Di Kota Bekasi, Rekson Sitorus Semacam Robin Hood

Niat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memutus kontrak PT Godang Tua Jaya selaku pengelola tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) Bantar Gebang nampaknya menghadapi banyak tantangan. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok harus tahan banting dengan berbagai tekanan yang luar biasa itu.

Belum usai adu mulut dengan anggota DPRD Kota Bekasi, Ahok dipaksa melihat kenyataan tentang ratusan truk sampah DKI Jakarta yang diblokir oleh warga dan ormas. Dampaknya, sampah di Jakarta menumpuk di mana-mana. Dan ini teramat menggelikan: ratusan polisi berjaga-jaga di jalanan hanya untuk mengawal distribusi sampah.

Rekson Sitorus, pemilik PT Godang Tua Jaya, barangkali diangap semacam Robin Hood oleh banyak orang di Kota Bekasi. Dia dibenci sekaligus dipuja. Dia dipandang telah merugikan keuangan negara, tapi di sisi lain dia dianggap sebagai dermawan pembawa keberuntungan.

TPST Bantar Gebang telah menjadi sumber penghidupan bagi banyak orang. Yang mereka tahu, tempat itu adalah milik Rekson Sitorus.

Dari data yang kami himpun, ada sekitar 6.000 pemulung dan 360 bos kecil pemilik lapak yang bergumul setiap hari di atas lahan seluas 110 hektar di Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi, itu.

Setiap hari, seorang pemulung di TPST Bantar Gebang bisa mendapatkan penghasilan bersih sekitar Rp 80.000-Rp 100.000 atau Rp 2,4 juta-Rp 3 juta per bulan. Seorang bos kecil, yang menampung sampah pilahan pemulung, mampu menghasilkan Rp 83 juta per bulan. Perputaran uang di sektor informal itu ditaksir mencapai 29,8 miliar per bulan.

Pemerintah Kota Bekasi, setiap tahun, juga kecipratan 20 persen dari total duit jasa pengelolaan sampah atau tipping fee yang digelontorkan dari Pemrov DKI Jakarta ke PT Godang Tua Jaya. Nilainya berkisar Rp 40-50 miliar.

Uang sebesar itu kemudian didistribusikan lagi kepada warga di empat kelurahan yang mengelilingi TPST Bantar Gebang, yaitu Kelurahan Cikiwul, Ciketing Udik, Sumur Batu dan Bantar Gebang. Melalui mekanisme community development atau pemberdayaan masyarakat, setiap kepala keluarga mendapatkan uang kompensasi Rp 300 ribu per tiga bulan.

Sunat-menyunat uang sampah bukan hal yang aneh di Bantar Gebang. Di tingkat RT, uang kompensasi yang harusnya diterima utuh untuk warga itu, disunat Rp 10 ribu untuk kegiatan gono-gini.

Setiap Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), juga menyunat Rp 100 ribu dengan dalih untuk perbaikan infrastruktur, pembangunan masjid dan pembelian perlengkapan ini-itu. Totalnya, warga hanya mendapatkan Rp 190 ribu.

Kata pepatah lama, ada gula ada semut. Pemilihan Ketua LPM di empat kelurahan tersebut menjadi ajang kompetisi yang sengit. Konon, kandidat bisa mengeluarkan modal ratusan juta bahkan sampai Rp 1 miliar. Kondisi ini hanya terjadi di Bantar Gebang.

Dari hasil pemotongan Rp 100 ribu tadi, LPM mampu mengumpulkan Rp 1-1,5 miliar per tahun. Kenyataannya, apa yang mereka kerjakan juga tidak bisa sepenuhnya dipercaya, misalkan dalam bentuk laporan keterangan pertanggung jawaban.

Seperti LPM, Pemkot Bekasi pun tidak pernah merinci detail peruntukan uang dari PT Godang Tua Jaya di dalam APBD. LKPJ Wali Kota Bekasi hanya menyebut, sekitar 40 persen uang disalurkan kepada masyarakat. Sinyanya? Tidak jelas.

(Baca: Uang Kompensasi TPST Bantar Gebang ‘Disunat’ Berkali-kali)

Rekson Sitorus, adalah juga Robin Hood bagi penguasa kecil. Politisi, tokoh masyarakat, ormas, karang taruna, aparat pemerintah, disebut-sebut rutin mendapatkan setoran. Mereka sering bertandang langsung ke kantor kecil PT Godang Tua Jaya yang berada di TPST.

Sayang, meskipun ini telah menjadi obrolan yang umum di kalangan warga Bantar Gebang, pembuktian mereka menerima setoran, cukup sulit. Warga hanya bisa bergosip dan menggerutu karena bagian mereka tidak sebesar ‘orang-orang khusus’ itu.

Sejumlah sumber yang kami wawancarai memberikan petunjuk menarik. PT Godang Tua Jaya, di Bantar Gebang, memiliki ‘Tim 17’ yang disegani warga. Mereka merupakan preman yang sengaja dipelihara. Apabila warga ada yang rewel, Tim 17 lah yang bergerak.

Kemunculan Tim 17 berawal dari huru-hara terjadi di TPST Bantar Gebang pada tahun 2004. Saat itu, sejumlah orang menghadang truk sampah DKI Jakarta, persis seperti kondisi saat ini. Begitu PT Godang Tua Jaya memenangkan tender pengelolaan TPST pada tahun 2008, mereka direkrut sebagai tim khusus.

Sumber kami mengungkapkan, sejumlah politikus Kota Bekasi kerap bertamu ke Pangkalan 10, Cileungsi, perbatasan Bekasi-Bogor, tempat PT Godang Tua Jaya menyimpan peralatan kerjanya. Atau langsung ke rumah Rekson di daerah Cawang, Jakarta Timur, dekat bandara Halim Perdana Kusumah.

Politikus yang bertamu ke Cawang tentu punya pengaruh besar dalam menentukan kebijakan. Sumber menyebut, di sana tidak ada transaksi uang. “Rekson tidak memberikan uang. Sudah ada tim khusus yang mengatur. Berapa besarnya saya tidak tahu,” kata sumber.

(Baca: Bisnis Sampah Dinasti Rekson Sitorus di DKI Jakarta)

Rekson membantah semua cerita-cerita yang berkembang tersebut. Menurut Rekson, tidak benar PT Godang Tua Jaya punya kedekatan dengan politikus, apalagi sampai memberikan setoran.

“Aduh, kami berbuat apa? Kami melihat, sedikit-sedikit, Godang Tua yang dituduh. Sedikit-sedikit, Godang Tua yang disebut aktor di balik semua permasalahan ini,” kata Rekson.

Redaksi

Tinggalkan komentar