Kita patut mengapresiasi Mahkamah Agung: berani membatalkan putusan Pengadilan Negeri Bekasi yang menyatakan Linggom F Lumbon Toruan bebas dari dakwaan kasus penimbunan bahan bakar minyak.
Linggom dihukum satu tahun penjara dengan denda Rp 2 miliar. Meskipun, sejak diputuskan pada 23 Maret 2015, eks Wakil Direktur PT Godang Tua Jaya yang kini menjadi anggota DPRD Kota Bekasi itu masih bebas berkeliaran.
Penetapan Linggom sebagai terpidana merupakan tiang pancang pertama untuk membongkar dugaan skandal korupsi di tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) Bantar Gebang.
Tidak menutup kemungkinan, ke depan, aparat penegak hukum menetapkan sejumlah tersangka kasus lain namun tetap berada dalam lingkaran yang sama: sampah. Ada beberapa area rawan korupsi yang sebenarnya berpotensi tersentuh oleh penegak hukum.
Area rawan korupsi pertama, adalah bisnis sampah dinasti Rekson Sitorus. Penelusuran kami, Rekson tidak hanya mengendalikan PT Godang Tua Jaya yang kini mengelola TPST Bantar Gebang. Ia juga mengendalikan PT Ernijuta Agung.
Perusahaan yang didirikan bersamaan dengan PT Godang Tua Jaya pada 1993 itu sahamnya dikuasai oleh keluarga inti Rekson: istri, anak dan menantu. Perusahaan ini menyewakan alat berat dan dump truks. Juga melayani jasa angkut sampah, perataan lahan dan pengurukan.
Tentu sah-sah saja mendirikan dinasti bisnis. Yang menjadi persoalan adalah jika mereka menjalin kerja sama lancung. Kedua perusahaan tersebut tercatat rutin mendapatkan ‘jatah’ proyek persampahan di Dinas Kebersihan DKI Jakarta.
PT Godang Tua Jaya, dalam riwayat lelang elektronik, mendapatkan proyek swastanisasi sampah di Tanjung Priok selama dua tahun dengan nilai sekitar Rp 21 miliar. Sayangnya, lelang elektronik baru berlaku pada 2011 sehingga riwayat sebelumnya tidak bisa diketahui oleh publik.
PT Ernijuta Agung, selama empat tahun, sejak 2012 hingga 2015, mendapatkan total proyek sekitar Rp 34,7 miliar. Itu belum termasuk proyek-proyek penunjukan langsung.
Yang menggelitik, PT Ernijuta Agung hanya memenangkan lelang elektronik pada Dinas Kebersihan DKI Jakarta. Di dinas lain, atau juga kota dan lembaga lain, tidak ada nama PT Ernijuta Agung. Ini agak aneh.
Boleh jadi dugaan Gubernur Ahok benar: Dinas Kebersihan bermasalah. Petunjuknya, kata Ahok, dua kepala dinas sebelum yang sekarang takut untuk memberikan surat peringatan atau SP 1 kepada PT Godang Tua Jaya. Ada kemungkinan PT Godang Tua Jaya dan Dinas Kebersihan main mata.
Area rawan korupsi kedua, adalah profesioalitas kerja PT Godang Tua Jaya. Linggom adalah potret suram tentang buruknya kinerja perusahaan. Untuk mengakali keuntungan, perusahaan nekat melakukan tindakan melanggar hukum.
Area kedua inilah yang akhirnya membuat Pemrov DKI Jakarta ingin mengakhiri hubungan. Apalagi, PT Godang Tua terbukti tidak menjalankan kewajibannya membangun teknologi persampahan yang telah disepakati. Padahal, uang ratusan miliar mengalir tiap tahun ke PT Godang Tua Jaya.
PT Godang Tua Jaya juga diduga memainkan tonase sampah agar pembayaran uang tipping fee atau jasa pengelolaan, yang dihitung berdasarkan ton sampah masuk, ikut melambung. Audit Badan Pemeriksa Keuangan terbaru secara jelas menyebut,
‘Pelaksanaan penimbangan tidak dilakukan berdasarkan pendataan dan pengolahan database berat kosong truk yang terbaru secara periodik, sehingga tonase sampah yang menjadi dasar pembayaran tipping fee tidak dapat diyakini kewajarannya dan terdapat perbedaan berat kosong truk yang berindikasi merugikan daerah Rp 1.237.682.127.’
Soal tonase, bisa saja, PT Godang Tua Jaya juga melaporkan kepada Pemkot Bekasi lebih sedikit sehingga hak Pemkot Bekasi mendapatkan 20 persen dari total tipping fee ikut berkurang. Atau keduanya melakukan persekongkolan.
Data yang diperoleh klikbekasi, jumlah tonase yang disebutkan PT Godang Tua Jaya dan Pemkot Bekasi cenderung sama. Namun, besaran total tipping fee yang dikeluarkan Pemrov DKI Jakarta berbeda, jika melihat data dari Pemkot Bekasi.
Pada tahun 2014, misalnya, Pemrov DKI Jakarta menggelontorkan Rp 279.817.387.038 untuk tipping fee. Namun, faktanya, Pemkot Bekasi hanya menerima 49.554.606.995. Jumlah ini setelah dihitung tidak mencapai 20 persen, sekalipun sudah dipotong pajak penghasilan.
(Baca: Kejanggalan Tipping Fee TPST Bantar Gebang dari DKI Jakarta)
Kuatnya dugaan korupsi dengan modus ‘utak-atik angka’ ini diperkuat temuan BPK yang menyebut, ‘Adanya potensi pajak penghasilan Pasal 23 atas transaksi antara J.O dan PT Godang Tua Jaya yang tidak dipungut dan disetor minimal senilai Rp 15.506.516.292.’
Dugaan korupsi tipping fee ini, jika ditelusuri, bisa menyentuh sampai tingkat paling bawah: pembagian kompensasi untuk warga di sekitar TPST Bantar Gebang. Modusnya adalah dengan sunat-menyunat anggaran.
Melalui mekanisme community development atau pemberdayaan masyarakat, setiap kepala keluarga mendapatkan uang kompensasi Rp 300 ribu per tiga bulan. Di tingkat RT, uang kompensasi disunat Rp 10 ribu untuk kegiatan gono-gini.
Setiap Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), yang menyalurkan anggaran, juga menyunat Rp 100 ribu dengan dalih untuk perbaikan infrastruktur, pembangunan masjid dan pembelian perlengkapan ini-itu. Totalnya, warga hanya mendapatkan Rp 190 ribu.
Dari hasil pemotongan Rp 100 ribu tadi, LPM mampu mengumpulkan Rp 1-1,5 miliar per tahun. Kenyataannya, apa yang mereka kerjakan juga tidak bisa sepenuhnya dipercaya, misalkan dalam bentuk laporan keterangan pertanggung jawaban.
Seperti LPM, Pemkot Bekasi pun tidak pernah merinci detail peruntukan uang dari PT Godang Tua Jaya di dalam APBD. LKPJ Wali Kota Bekasi hanya menyebut, sekitar 40 persen uang disalurkan kepada masyarakat. Sisanya? Tidak jelas.
Area rawan korupsi ketiga, adalah menyangkut pola relasi. Rekson Sitorus, bukan rahasia umum lagi, telah menjadi ‘Robin Hood’ bagi sebagian orang di Kota Bekasi. Politisi, tokoh masyarakat, ormas, karang taruna, aparat pemerintah, disebut-sebut rutin mendapatkan setoran.
Maka tak heran jika banyak pihak yang ‘teriak’ ketika PT Godang Tua Jaya dalam ancaman DKI Jakarta. Ahok diserang dari berbagai penjuru, dari mulai konfrontasi anggota DPRD Kota Bekasi, hingga aksi stop truk oleh ormas dan warga.
Pola relasi yang semacam itu tentu penuh risiko, apalagi jika menyangkut uang negara dalam jumlah besar. Padahal di sisi lain, PT Godang Tua Jaya punya seabrek tanggung jawab yang nyata-nyata belum dilaksanakan.
Jadi, kembali ke pembicaraan semula, siapakah yang akan menyusul Linggom? Semua tergantung dari keseriusan aparat penegak hukum memberantas korupsi. Masyarakat tentu berharap besar mereka bisa bekerja secara profesional.
Redaksi