Site logo

Birokrat Kaya Pendamping Petahana

Mengapa Rahmat Effendi memilih Tri Adhianto Tjahyono, mantan anak buahnya, sebagai pendamping di Pilkada Kota Bekasi 2018? Orang-orang di sekeliling mereka menjawab sederhana: karena Tri punya banyak uang dan pandai mencari uang.

Kabar itu memang bukan rumor. Berdasarkan penelusuran kami atas dokumen LHKPN di situs resmi KPK, ia tercatat memiliki harta kekayaan Rp7.247.248.355 pada laporan tahun 2013. Saat itu ia menjabat Kepala Dinas Bina Marta dan Tata Air. Tahun 2017, instansi yang dipimpin Tri berubah nama menjadi Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang. Di tahun 2018, nama instansinya berubah lagi menjadi Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air.

Kekayaan Tri terdiri dari harta tidak bergerak sebesar Rp2.722.115.000, berupa 17 bidang tanah dan bangunan yang tersebar di sejumlah tempat sepeti di Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kota Bandung, Jakarta, Banten, sampai Lampung. Namun yang terbanyak di Kabupaten Bekasi (8 bidang) dan Kota Bekasi (5 bidang).

Ada pun harta bergerak Tri berasal dari usahanya sebagai agen Sari Roti. Ia tercatat menguasai 7 agen roti, dengan nilai jual mencapai Rp4.291.411.254. Sisanya adalah mobil senilai Rp500.000.000, logam mulia senilai Rp39.725.000, serta giro sebesar Rp284.585.101 dan USD4.333.

Jika perbandingannya adalah sesama birokrat, maka Tri memang yang paling kaya. Setelah Tri, ada nama Koswara Hanafi, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, yang memiliki kekayaan terbesar kedua: Rp2.306.917.142. Koswara melaporkan kekayaan pada tahun 2013, saat itu menjabat sebagai Kepala Dinas Tata Kota sampai tahun 2017.

Di urutan ketiga, ada Kepala Badan Kepegawaian Daerah, Reny Hendrawati, dengan kekayaan Rp2.276.292.368 pada laporan tahun 2014. Disusul Sekretaris Daerah Rayendra Sukarmadji, sebesar Rp2.270.940.648.

Jika membandingkan laporan dari tahun ke tahun, kekayaan pejabat sebenarnya cenderung naik. Sebutlah Rayendra, yang pada laporan tahun 2016 kekayaannya naik menjadi Rp3.039.640.259. Kemungkinan harta kekayaan Tri dan Koswara juga bertambah–kendati laporan terbarunya belum terarsip.

Yang mencengangkan—karena ini jarang terjadi—harta kekayaan Tri ternyata melebihi milik Rahmat Effendi: sebesar Rp5.264.147.663 pada laporan tahun 2012 dan Rp7.173.949.728 pada 2015.

“Tri Adhianto dan Koswara adalah anak emas Rahmat Effendi. Mereka pandai mencari uang,” kata sumber kami di lingkaran Rahmat Effendi, yang juga seorang pengusaha.

Menurut sumber, yang pertama kali disiapkan oleh petahana sebenarnya Koswara. Selain dipandang cakap dalam planologi atau ilmu tata kota, Koswara juga memegang peranan kunci dalam pembangunan Kota Bekasi. Pembangunan perumahan, apartemen, hotel, pusat perbelanjaan dan lain-lain—terkait pemanfaatan ruang kota—yang begitu begitu masif beberapa tahun terakhir, mustahil tidak melewati tangannya.

Koswara, ungkap sumber, menjadi semacam kasir bagi Rahmat Effendi. Melalui Koswara, para pengusaha biasanya memberikan imbalan atas pengurusan izin pembangunan yang cepat. Jika sewaktu-waktu membutuhkan dana taktis untuk kegiatan di luar pemerintahan, Rahmat Effendi bisa memanggil Koswara untuk memberesinya.

“Rahmat Effendi begitu percaya kepada Koswara untuk urusan pemanfaatan ruang. Tapi pada praktiknya, Koswara menikmati imbalan dari pengusaha untuk kepentingan pribadi. Setidaknya, saya pernah satu kali mengetahui itu, ada uang yang tidak sampai ke wali kota,” ungkap sumber.

Merasa Koswara kurang loyal, cerita sumber, Rahmat Effendi mulai mempertimbangkan Tri Adhianto—yang sejak Rahmat Effendi menjabat pada 2013 tidak pernah digeser dari jabatannya. Ketika Dinas Tata Kota dilebur dalam Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang pada 2017, Rahmat Effendi nyatanya memilih Tri untuk memimpin ‘instansi basah’ itu. Sementara Koswara, karena Dinas Tata Kota sudah tidak ada, digeser ke Bappeda.

Jika sebelumnya Tri Adhianto hanya berhubungan dengan kontraktor penggarap proyek infrastruktur pemerintah, dalam instansi barunya, ia kini juga mengambil alih peran Koswara.

“Gaya Koswara dan Tri kepada pengusaha sangat berbeda. Koswara masih halus. Tapi Tri, blak-blakan. Kalau minta uang terang-terangan dan berani menggaransi perizinan cepat selesai. Yang biasanya memakan waktu tiga bulan, bahkan setahun, di tangan Tri bisa satu bulan kelar,” kata sumber.

“Pada umumnya pengusaha berani bayar mahal asalkan prosesnya cepat. Karena jika memakai jalur normatif, selain lama, biaya yang dikeluarkan pun sebenarnya sama-sama mahal.”

Dalam setahun—sebelum akhirnya instansi itu kembali ke format semula—Tri benar-benar memanfaatkan posisinya untuk menunjukkan sikap loyal dan royal kepada Rahmat Effendi. Sampai akhirnya Rahmat Effendi benar-benar mantap memilih Tri menjadi wakilnya.

Di Pilkada Kota Bekasi 2018 ini, kabarnya seluruh biaya politik untuk pemenangan Rahmat Effendi-Tri Adhianto ditanggung Tri sepenuhnya. Termasuk, misalnya, biaya mahar untuk partai politik. Tri ditengarai disokong modal dari para pengusaha yang memiliki kepentingan bisnis di Kota Bekasi.

“Tri memang menjadi andalan. Pernah suatu ketika Rahmat Effendi bikin acara dengan Golkar di restoran Bandar Jakarta Ancol. Dari Bekasi, Tri dipanggil cuma buat bayar ke kasir,” cerita sumber kami di internal Golkar Kota Bekasi.

Gaya ‘koboi’ Tri Adhianto sebagai birokrat sebenarnya menyerempet bahaya dan bisa menjadi bom waktu di kemudian hari untuk Tri sendiri maupun Rahmat Effendi. Sejumlah laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan untuk Kota Bekasi telah memaparkan bukti-bukti kuat adanya ketidakberesan di instansi yang dipimpin Tri selama lima tahun itu. (Baca: Kasus Monopoli Lelang Proyek Banjir)

Rahmat Effendi nampaknya menyadari itu. Ketika ditanya, apakah tidak terlalu berisiko jika mengangkat pendamping yang berpotensi tersangkut hukum di kemudian hari, ia hanya menjawab ringan. “Ya ya ya. Kalau begitu kiyai saja (jika ingin benar-benar bersih, -red),” katanya, melalui pesan singkat.

Tri Adhianto sendiri memilih tidak berkomentar ketika dikonfirmasi mengenai kabar miring mengenainya.

NODA HITAM

Permintaan Khusus Petahana

Tri Adhianto adalah pilihan pribadi Rahmat Effendi. Dalam perjalanannya, ia telah menyingkirkan sejumlah nama politikus maupun birokrat yang sebelumnya berpeluang mendampingi petahana di Pilkada Kota Bekasi 2018—bahkan mengeliminasi PKS, partai yang sebelumnya memiliki jatah kursi wakil wali kota.

Dari jauh-jauh hari, Rahmat Effendi bahkan sudah melempar nama Tri kepada partai politik yang kelak menjadi mitra koalisi Golkar, seperti ke PKB, PAN, PPP, Hanura, Demokrat. Ia bahkan sempat menyodorkan nama Tri Adhianto ke PDI Perjuangan—oposisinya, yang belakangan ikut mendukung pencalonan Rahmat Effendi-Tri Adhianto.

Tanpa basa-basi, Rahmat Effendi meminta partai politik di luar Golkar segera memberikan rekomendasi kepada Tri untuk mendampinginya. (Baca juga: Koalisi Gendut Petahana)

Ketua DPC Demokrat Kota Bekasi, Andi Zabidi, membenarkan itu. Awalnya Demokrat mengajak Golkar berkoalisi dengan menyodorkan sejumlah nama dari partainya. Namun, Rahmat Effendi langsung menawarkan nama anak buahnya itu.

“Saat itu Demokrat mencoba membangun komunikasi dengan petahana. Kami bawa nama kader Demokrat untuk dijadikan wakil. Tapi petahana justru menawarkan Tri Adhianto,” kata dia.

Demokrat langsung merespon permintaan Rahmat Effendi. Nama Tri segera dibawa ke DPP Demokrat agar surat rekomendasi cepat turun. “Ya, sudah kami respon. Dan rekomendasi memang turun dari pusat,” kata Andi.

Di luar Demokrat, di awal, partai-partai menolak permintaan Rahmat Effendi. Mereka bersikeras agar petahana mengambil wakilnya dari kalangan politikus—dengan harapan satu di antara mereka dicatut.

Karena partai yang tergabung dalam koalisi tidak sedikit, mereka pun menyarankan petahana agar memilih berdasarkan survei tertinggi. Siapa pun, dari partai mana pun, yang nilai surveinya tinggi berkesempatan menjadi wakil.

“Ya, waktu itu kami ingin agar Bang Rahmat Effendi mengambil wakil dari partai politik. Silahkan pilih yang paling tinggi nilai surveinya,” kata Ketua DPC Hanura Kota Bekasi, Syaherallayali.

Mendapat tekanan demikian, Rahmat Effendi tidak mau kalah. Ia melakukan manuver balik dengan memunculkan nama Sutriyono, anggota DPR RI dari PKS. Ia tahu betul bahwa mereka tidak nyaman bersama PKS. Strategi gertak sambal itu rupanya berhasil.

Begitulah, Tri Adhianto diterima partai koalisi. PKS, yang sebenarnya juga sudah siap berpisah dengan petahana, akhirnya memunculkan nama kadernya, Nur Supriyanto, didampingi Adhy Firdaus dari Gerindra. “Lebih baik menerima birokrat daripada PKS,” kata seorang ketua partai koalisi.

Di saat kondisi tenang, secara mengejutkan, PAN mengklaim Tri Adhianto sebagai kadernya. PAN telah membuatkan Kartu Tanda Anggota PAN untuk Tri Adhianto. Sontak, manuver itu memicu polemik di tubuh koalisi—meskipun segera mereda.

“Last minute kami bawa Pak Tri bertemu dengan Ketua Umum PAN. Pada hari itu juga rekomendasi langsung keluar dari PAN. Pulang dari tempat Ketua Umum, langsung Pak Tri kita buatkan KTA PAN,” kata Ketua Tim Pilkada PAN Kota Bekasi, Abdul Muin Hafied.

Tidak hanya di tubuh partai koalisi, di internal Golkar sendiri, nama Tri juga sempat mendapat penolakan. Sejumlah kelompok di Golkar ingin Rahmat Effendi mengambil wakil dari internal Golkar saja dengan pertimbangan peluang petahana untuk menang sangat tinggi. Komposisi serupa juga berhasil di Kabupaten Bekasi.

“Kami di internal Golkar tidak bisa berbuat banyak. Kami hanya bisa menerima keputusan yang sudah diambil,” kata seorang anggota Golkar.

Di luar politik, birokrasi ikut terbelah. Sejumlah birokrat tidak nyaman jika Tri Adhianto mendampingi Rahmat Effendi. Tri dianggap masih terlalu hijau alias muda. Selain itu, ada semacam kecemburuan sesama birokrat.

“Tri ini kan masih junior. Senior-seniornya ini merasa tidak rela Tri yang dipilih. Tapi pada akhirnya semua menerima keputusan itu. Mau gimana lagi, bahasanya kan taat ke wali kota,” terang sumber kami di internal Pemkot Bekasi.

Sadar menguasai finansial, Tri nampaknya tidak mau sekadar dicap kasir petahana. Ia pun membentuk barisan relawan sendiri yang akan mengawal karir politiknya di hari depan. Sebab, jika pada Pilkada ini Tri berhasil, kemungkinan ia ingin merebut posisi wali kota di perhelatan selanjutnya—mengingat Rahmat Effendi tidak akan bisa mencalonkan kembali.

Informasi yang dihimpun Klik Bekasi, ada 8 relawan Tri Adhianto yang sudah terbentuk. Di antaranya, Barisan Utama Tri (Bima Tri), Sohibnya Mas Tri (Smart), Sahabat Mas Tri (Santri), Relawan Muda Tri Adhianto (Radio), Laskar Triad (Laskar Tri Adhianto), Komunitas Relawan Tri (KR3), Barisan Tri Adhianto Sukses (Batas) dan Sama Tri.

“Persaingan antarrelawan tidak hanya terjadi di bawah Rahmat Effendi. Di Tri Adhianto juga sengit, saling sikut, berebut ingin jadi yang paling depan,” kata seorang pendiri relawan Tri Adhianto. (Tim)


Update informasi:

Kamis, 22 Februari 2018, KPK merilis harta laporan terbaru. Harta kekayaan Tri Adhianto naik menjadi Rp10.149.267.730 untuk laporan tahun 2018, dari Rp7.247.248.355 di tahun 2013 Rahmat Effendi juga naik, namun tidak signifikan: menjadi Rp7.498.143.832 untuk laporan tahun 2018, dari Rp7.173.949.728 di tahun 2015.

Nur Supriyanto, penantang petahana, memiliki harta kekayaan Rp4.171.225.079. Wakilnya, Adhy Firdaus, memiliki harta kekayaan di atas rata-rata: Rp61.175.060.290.

Comments

  • No comments yet.
  • Add a comment
    Home
    Mulai Menulis
    News