Site logo

Akrobat Rahmat Effendi

Konflik soal sampah antara DKI Jakarta dan Kota Bekasi kembali mencuat. Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi bermain akrobat untuk menutupi masalah ‘rumah tangga’ sendiri yang sebenarnya sedang kusut.

Rabu, 17 Oktober 2018, Rahmat Effendi memulai pertunjukkan itu. Puluhan truk sampah milik DKI Jakarta yang hendak menuju Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang dicegat di tengah jalan oleh petugas Dishub Kota Bekasi.

Rahmat Effendi, yang mengawal penyetopan itu, menuding DKI Jakarta tidak menjalankan kewajiban mereka soal perjanjian kerjasama pemanfaatan lahan TPST Bantargebang, salah satunya soal pemberian dana hibah kemitraan.

Bagi DKI sendiri, dana hibah kemitraan yang dipersoalkan Rahmat Effendi adalah hal yang berbeda dengan urusan sampah antara DKI dan Kota Bekasi. Dana kemitraan tidak diatur dalam perjanjian.

Khusus perjanjian pengelolaan sampah, DKI Jakarta sebenarnya sudah menunaikan kewajibannya dengan mengucurkan uang kompensasi untuk warga sekitar TPST Bantargebang sebesar Rp138 miliar dan utang dana kompenasi Rp64 miliar pada tahun ini.

Tidak mau disalahkan, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan langsung mengunci pernyataan Rahmat Effendi: kegaduhan ini terjadi karena ada masalah dengan keuangan Kota Bekasi, tetapi seolah-olah DKI Jakarta yang salah. Sederhananya, tidak diberi dana hibah, Pemkot Bekasi marah-marah lewat isu sampah.

Mengenai dana kemitraan sendiri, Anies membenarkan bahwa Pemkot Bekasi sudah menyampaikan usulan kepada Pemprov DKI Jakarta. Usulan itu ditindaklanjuti oleh DKI dengan menggelar pertemuan antarkedua belah pihak pada Mei 2018. Dalam pertemuan tersebut Anies meminta perincian proposal kerjasama kemitraan yang diusulkan Pemkot Bekasi.

Setahu Anies, ada beberapa usulan proyek yang diajukan Pemkot Bekasi, di antaranya pembangunan flyover Rawa Panjang senilai Rp188 miliar, flyover Cipendawa senilai Rp 372 miliar, crossing Buaran senilai Rp16 miliar, peningkatan fasilitas penerangan jalan umum Kota Bekasi senilai Rp5 miliar.

Nyatanya, perincian yang diminta DKI Jakarta baru diajukan Pemkot Bekasi pada Oktober 2018. Tak hanya telat, anggaran yang diajukan Pemkot Bekasi juga tidak masuk akal: Rp 2 triliun. Lagipula, menurut Anies, menjadi aneh jika Pemkot Bekasi mendesak DKI Jakarta soal dana hibah—mestinya ke Pemprov Jawa Barat.

Rahmat Effendi mencoba menangkis jawaban Anies, namun lagi-lagi salah. Menurut Rahmat Effendi, dana kompensasi untuk warga sekitar TPST Bantargebang baru diberikan DKI Jakarta pada tahun 2017—selebihnya belum. Padahal berdasarkan catatan DKI Jakarta, dana kompensasi untuk tahun 2018 sudah diberikan.

Wakil Wali Kota Bekasi, Tri Ahdianto, justru mengoreksi sendiri jawaban Rahmat Effendi. Tri membenarkan bahwa DKI Jakarta sudah menunaikan kewajiban membayar uang kompensasi bagi warga di sekitar TPST Bantargebang melalui Pemkot Bekasi.

Hanya saja, menurut Tri, jumlahnya hanya cukup untuk membayar kompensasi. Sedangkan yang dibutuhkan Pemkot Bekasi adalah dana kemitraan. Bagi Tri, Pemkot Bekasi tidak meributkan anggaran di 2018, yang sedang Pemkot Bekasi persoalkan adalah anggaran untuk 2019 mendatang yang ternyata nilainya tidak meningkat.

Tidak mau kehilangan muka, Rahmat Effendi menuding Anies tidak bisa berkomunikasi dengan baik. Bahkan ia mengibaratkan seperti berhubungan dengan ‘tujuh lapis langit’. Namun, dengan enteng, Anies menjawab bahwa ia sudah berusaha berkomunikasi dengan Rahmat Effendi via telepon, namun tidak mendapatkan respon.

Belakangan, Rahmat Effendi melunak. Senin, 21 Oktober 2018, ia datang ke kantor Anies. Setelah beberapa hari adu mulut di media massa, ia mengatakan bahwa semua itu hanya kesalahpahaman saja. Ia juga mengakui mendapatkan telepon tidak terjawab berkali-kali, yang ternyata dari Anies.

Cerita lama

Ribut-ribut soal sampah antara DKI Jakarta dengan Kota Bekasi sebenarnya adalah cerita lama dari masa ke masa. Dari mula era Gubernur Sutiyoso, Ahok, dan sekarang Anies Baswedan. Dalam setiap keributan antardaerah tetangga itu, isu yang diangkat selalu sama: ingkar janji pengelolaan sampah.

Kota Bekasi melulu menggunakan jurus andalan ‘gertak sambal’ pemutusan hubungan kerjasama pengelolaan sampah. Sutiyoso, Gubernur DKI Jakarta kala itu, menyerah ketika sampah DKI Jakarta dilarang masuk ke Kota Bekasi dan Pemkot Bekasi mengancam menghentikan pemutusan hubungan kerjasama.

Gertak sambal juga dilakukan pada era Ahok, saat itu anggota DPRD Kota Bekasi mengancam pemutusan hubungan kerjasama antara DKI dan Kota Bekasi. Makin digertak, Ahok makin melawan. Pada akhirnya, perseteruan kedua belah pihak merada dengan sendirinya.

Sekalipun jurusnya sama, motif keributan Kota Bekasi dengan DKI Jakarta berbeda-beda—kendati muaranya tidak jauh-jauh dari uang. (Baca juga: Uang Kompensasi TPST Bantargebang Disunat Berkali-kali)

Di era Sutiyoso, ribut-ribut terjadi karena ada sejumlah kelompok kepentingan di Kota Bekasi yang menginginkan TPST Bantargebang berganti pengelola. Dorongan berhasil, itulah sejarah awal mula PT Godang Tua Jaya dan PT Navigat Organic Enegry (PT NOEI) mengelola Bantargebang.

Pada jaman Ahok, perseturuan antara DKI dan Kota Bekasi terjadi lantaran ada dugaan main mata antara PT Godang Tua Jaya dengan DPRD Kota Bekasi. DPRD Kota Bekasi bergerak atas permintaan PT Godang Tua Jaya yang saat itu dalam ancaman pemutusan kontrak dari DKI Jakarta. Berbekal koneksi kuat antara PT Godang Tua Jaya dengan DPRD Kota Bekasi, perlawanan pun terjadi.

Lalu, apa motif Rahmat Effendi?

Apakah hanya karena persoalan dana kemitraan semata? Informasi yang berhembus, konflik DKI Jakarta dengan Kota Bekasi yang terjadi saat ini sudah jauh-jauh hari dipersiapkan oleh Rahmat Effendi—saat Pilkada Kota Bekasi berlangsung, tepatnya ketika masa jabatan Rahmat Effendi habis sebagai Wali Kota Bekasi periode pertama.

Spekulasi pada akhirnya merebak. Pertama, Rahmat Effendi ingin menjadikan momentum konfrontasi dengan DKI Jakarta sebagai alat untuk mengerek popularitasnya sebagai seorang tokoh politik. Rahmat Effendi, yang kabarnya punya niatan bertarung di Pilkada DKI Jakarta atau Jawa Barat suatu hari nanti, sadar betul bahwa isu perseteruan dengan DKI akan membuat popularitasnya terkerek cepat.

Spekulasi lain, konflik diciptakan karena ada beberapa investor yang melirik Bantargebang. Keributan diciptakan dengan tujuan membuat buruk citra DKI Jakarta soal pengelolaan sampah. Di sinilah muncul desakan agar pengelolaan sampah DKI Jakarta dikembalikan seperti masa lampau dengan menggandeng pihak ketiga.

Akrobat di tengah masalah

Terlepas dari motif konfrontasi Kota Bekasi dengan DKI Jakarta, perlu diacungkan jempol, Rahmat Effendi berhasil bermain akrobat untuk mengalihkan perhatian publik dalam tempo yang sangat cepat dari beberapa isu yang bisa membuat citranya miring di awal pemerintahannya.

Tidak bisa dimungkiri, ditetapkannya Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin sebagai tersangka penerima suap izin perumahan belum lama ini membuat banyak mata tertuju kepada Rahmat Effendi. Pertanyaan-pertanyaan seperti, misalnya—Apakah KPK juga akan menelusuri sejumlah masalah di Kota Bekasi?—adalah hal wajar yang mengemuka akhir-akhir ini. Apalagi, Neneng dan Rahmat Effendi sama-sama dari Partai Golkar.

Memang tidak sepenuhnya benar jika Neneng tersangkut kasus hukum, maka Rahmat Effendi dengan serta-merta bisa tersandung kasus hukum pula. Namun setidaknya kasus Neneng bisa menjadi cermin untuk berkaca bahwa Kota Bekasi pun tidak lebih baik dari Kabupaten Bekasi dalam hal penyelenggaraan pemerintahan.

Soal izin perumahan, sebagai perbandingan, Kota Bekasi barangkali lebih banyak mengeluarkan izin ketimbang Kabupaten Bekasi. Selain karena lokasinya paling berdekatan dengan DKI Jakarta, Kota Bekasi secara nasional memang sudah ditetapkan sebagai zona permukiman. Artinya, tidak menutup kemungkinan, suap-menyuap seperti di Kabupaten Bekasi rawan terjadi. (Baca: Korupsi Ada di Sekitar Rumah Kita)

Dan yang sebenarnya fatal adalah kondisi keuangan Kota Bekasi saat ini. Tahun 2019, Kota Bekasi diperkirakan tidak bisa berbuat banyak untuk melakukan pembangunan akibat keuangan daerah defisit. Rahmat Effendi selalu beralibi bahwa defisit terjadi lantaran target pendapatan meleset, sehingga pembiayaan untuk belanja daerah terganggu. Padahal, faktanya tidak sepenuhnya demikian.

Kota Bekasi mengalami defisit karena ada pengeluaran yang tidak terkontrol. BPK menemukan ada pembengkakan pada pembiayaan program Kartu Sehat bebasis Nomor Induk Kependudukan. Pembiayaan program Kartu Sehat—yang cenderung politis itu—tidak pernah cukup. Pemkot Bekasi selalu kekurangan anggaran, bahkan sampai harus mengambil uang di kas daerah untuk membayar tagihan dari rumah sakit swasta tanpa mekanisme pengesahan anggaran di DPRD.

BPK menyebut jebolnya anggaran Kartu Sehat karena tidak ada target penerima layanan—yang semestinya untuk golongan menengah ke bawah saja. Selain itu, verifikasi klaim dari rumah sakit tidak ketat, sehingga rawan terjadi manipulasi. (Baca: Bom Waktu Kartu Sehat)

Selain Kartu Sehat, Pemkot juga mengeluarkan anggaran fantastis untuk membayar sekitar 13.136 tenaga kerja kontrak atau TKK—program yang tidak kalah politisnya. Tahun 2018, anggaran untuk TKK sebesar Rp564,554 miliar. Tahun 2019, anggarannya naik menjadi Rp684,94 miliar.

Pembiayaan honor TKK sesungguhnya bisa menjadi batu sandungan bagi Rahmat Effendi. Nomenklatur anggaran untuk honor TKK ternyata tidak pernah ada dalam APBD Kota Bekasi. Dalam sebuah dokumen, terungkap, bahwa honor untuk TKK disebut dalam APBD dengan nama ‘Penyediaan Jasa Tenaga Administrasi/Teknis Perkantoran’—diselipkan dalam anggaran Belanja Langsung Penunjang Urusan, bukan pada Belanja Pegawai. (Baca: Selap-selip Anggaran TKK)

Dengan selap-selip anggaran seperti itu, dan membuat nama lain untuk pekerjaan yang berbeda, bukankah ini termasuk penyelewengan anggaran? Jika masuk dalam ranah hukum pidana, kasus ini mungkin saja bernama anggaran siluman alias anggaran fiktif. Motifnya mudah ditebak: Pemkot Bekasi melakukan ini untuk mengelabui Gubernur dan Mendagri, agar postur APBD Kota Bekasi tidak terlihat janggal. Apalagi, pemerintah pusat sudah melarang pemerintah daerah merekrut pegawai honorer baru.

Sampai saat ini, Rahmat Effendi tidak berani menghentikan dua pembiayaan yang membikin keuangan Kota Bekasi tekor. Jika anggaran TKK sebesar Rp684,94 miliar, dan Kartu Sehat Rp355 miliar pada tahun 2019, maka setidaknya Pemkot Bekasi harus mengeluarkan Rp1 triliun lebih atau 20 persen dari total APBD Kota Bekasi yang diproyeksikan sebesar Rp5,4 triliun.

Program pembangunan produktif jelas akan ditekan sedemikian rupa, karena Belanja Tidak Langsung atau Belanja Pegawai saja sudah menyedot anggaran sampai Rp2,4 triliun pada tahun 2019.

Mengapa Rahmat Effendi tidak berani memangkas dua pembiayaan jumbo itu? Bisa dimaklumi: ia tentu tidak mau kehilangan citra positif, karena selama ini dua program tersebut memang terbukti ampuh mengerek elektabilitasnya. Ia juga enggan berhadapan dengan gejolak ribuan TKK yang kehilangan pekerjaan, serta gejolak pasien-pasien pengguna Kartu Sehat.

Tidak salah jika Rahmat Effendi memilih berakrobat di hadapan DKI Jakarta—berharap bantuan Rp2 triliun dari ibu kota bisa menyelamatkan keuangan Kota Bekasi di tahun depan.

Redaksi Klikbekasi.co

Comments

  • No comments yet.
  • Add a comment
    Home
    News
    Blog