Usai dipecat Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi dari jabatannya sebagai Kepala Dinas Sosial, Agus Dharma tak tinggal diam. Birokrat senior itu melawan demi mencari keadilan.
Agus memulai perlawanannya melalui jalur hukum. Gugatan ia layangkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung. Rabu, 14 September 2016, sidang persiapan pun dimulai.
Dalam sidang itu, pihak PTUN Bandung mengecek beberapa kelengkapan sidang, mulai dari berkas gugatan, pemeriksaan surat kuasa, hingga materi gugatan.
Sayang, Pemkot Bekasi–sebagai tergugat–tidak hadir. Pihak PTUN kemudian memutuskan melanjutkan sidang minggu depan. (Baca juga: Siapa Agus Dharma?)
Kepada Klik Bekasi, Agus mengatakan, materi gugatan yang diajukan di persidangan tidak muluk-muluk. Ia hanya menginginkan agar Surat Keputusan (SK) Wali Kota Bekasi mengenai pencopotannya dicabut.
“Saya minta SK Wali Kota dicabut karena ada yang dilanggar dari sisi yuridis. Nanti pengadilan yang akan membuktikan ada pelanggaran atau tidak,” ujarnya kepada Klik Bekasi.
Sebelumnya, Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi mempersilakan aparaturnya yang dipecat untuk menggungat ke PTUN, termasuk Agus. (Baca juga: Birokrat Koboi Pilihan Wali Kota)
“Silakan tempuh melalui hukum. Tidak perlu melakukan upaya sensasional berupa politisasi birokrasi,” kata Rahmat Effendi.
Di atas angin
Data yang kami himpun, Pemkot Bekasi beberapa kali keok di pengadilan. Riwayat putusan itu membuka peluang besar bagi Agus untuk menang.
2013 silam, misalnya, Pemkot Bekasi kalah melawan Ahmadiyah di PTUN atas kasus penyegelan masjid di bilangan Pondok Gede.
Setahun berikutnya, Pemkot Bekasi kalah saat menghadapi gugatan warga Taman Galaxy Indah atas kasus pembongkaran portal di perumahan tersebut.
Pemkot Bekasi juga kalah saat berhadapan dengan warga Jatiasih yang menolak beroperasinya pabrik beton PT KBS–meskipun pada tahap banding Pemkot Bekasi menang.
Di tahun yang sama, warga Jatisampurna mempersoalkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) gereja Kalamiring melalui PTUN. Pemkot Bekasi kalah.
Meski berpeluang menang, pada akhirnya Agus mesti menerima kenyataan ini: putusan sidang Tata Usaha Negara (TUN) tidak sama dengan putusan sidang dalam kasus perdata atau pidana.
Eksekusi putusan PTUN tidak memungkinkan upaya paksa dengan menggunakan aparat keamanan.
Bahkan, merujuk UU PTUN, bila pihak tergugat kalah dan mengabaikan putusan, maka putusan sidang tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
“Saya hanya mencari keadilan. Saya berharap hasilnya yang terbaik,” katanya. (Ical)