Berita  

Adem Ayem Pemberantasan Korupsi di Kota Bekasi

Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Kota Bekasi nyaris tidak bergeliat, meski korupsi menjadi aktifitas masif di kota ini. Sayangnya, pemberantasan korupsi justru adem ayem.

Padahal, jika penegak hukum, entah kepolisian, kejaksaan atau bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi serius dalam memberantas korupsi, maka tak sulit menemukan kasus korupsi di Kota Bekasi.

Salah satu contohnya korupsi APBD. Dengan total anggaran mencapai Rp 5 triliun lebih pada tahun 2017, APBD Kota Bekasi tidak bisa lepas dari korupsi. APBD Kota Bekasi seakan menjadi bahan bancakan. Terutama anggaran di sektor infrastruktur.

Di sektor infrastruktur, Pemkot Bekasi memang jor-joran. Ambil contoh dalam tiga tahun terakhir, Pemkot Bekasi bisa mengucurkan dana kurang lebih mencapai Rp 1 triliun untuk kepentingan infrastruktur. Anggaran jumbo inilah yang kemudian dikorupsi.

Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2015 setidaknya menjadi bukti sahih, bahwa ada tindak pidana korupsi yang nyata. Dalam auditnya, BPK dengan terang benderang menyebutkan ada upaya bagi-bagi proyek infrastruktur di Pemkot Bekasi.

BPK menyebut, ada dugaan kongkalikong antara Pemkot Bekasi dalam hal ini Dinas Bina Marga dan Tata Air yang kini berganti nama menjadi Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang dengan pihak kontraktor dalam tender proyek pengendalian banjir di Perumnas 3, Kelurahan Aren Jaya, Kecamatan Bekasi Timur, Kota Bekasi, untuk tahun anggaran 2014.

Dengan melampirkan bukti yang rinci, BPK mensinyalir bahwa lelang proyek senilai Rp 4,6 miliar tersebut dimanipulasi secara terstruktur dari awal untuk memenangkan satu perusahaan: PT Bona Jati Mutiara.

BPK menyorongkan dua bukti kuat adanya monopoli lelang itu.

Bukti pertama, enam dari tujuh perserta yang memasukkan dokumen penawaran via online atau LPSE terbukti berada dalam satu kendali. Dokumen itu diupload melalui IP client (jaringan internet) atau komputer yang sama dalam rentang waktu yang berdekatan.

Bukti kedua, baik pada lelang pertama maupun lelang lanjutan, dokumen penawaran milik enam perusahaan tersebut formatnya sama: dari mulai susunannya hingga kesalahan ketiknya. Begitu pun dengan nomor SPH-nya (surat penawaran harga).

Enam perusahaan tersebut antara lain PT Bona Jati Mutiara (BJM), PT Bangun Bunga Artindo (BBA), PT Tri Ras Jaya (TRJ), PT Riani Asisi Perdana (RAP), PT Daksina Persada (DP) dan PT Jatisibu Karya Anugerah (JKA). Sedangkan satu peserta lain, yang ip clientnya berbeda, adalah PT Mutiara Indah Purnama (MIP).

Temuan BPK, mungkin hanya contoh kecil saja. Bisa jadi masih banyak korupsi lainnya di sektor infrastruktur.

Apalagi korupsi infrastruktur tergolong jamak. Bupati Kutai Kartanegara (Kukar), Rita Widyasari misalnya, harus berurusan dengan KPK karena dituding mendapat gratifikasi dari PT Citra Gading Arstima agar perusahaan tersebut mendapat proyek infrastruktur dari Pemkab Kukar.

Bila APBD Kota Bekasi menjadi salah satu ladang korupsi, sektor perizinan bisa jadi sama. Kuat dugaan, ada tindak korupsi yang masif di sektor ini. Banyak pejabat Pemkot Bekasi disinyalir memanfaatkan kewenangannya untuk meraup pundi rupiah dengan memainkan izin.

Maka jangan heran, bila suatu ketika, melihat hotel, apartemen atau perumahan berdiri tegak di atas tanah yang tidak sesuai peruntukannya. Bisa dipastikan, ada permainan perizinan sehingga Pemkot Bekasi mengeluarkan izin pendirian bangunan-bangunan tersebut kendati berdiri di atas lahan yang tak sesuai peruntukannya.

Dengan jumlah pemohon izin mencapai ribuan bahkan puluhan ribu lebih dalam satu tahunnya, jelas sektor perizinan merupakan lahan basah yang tak bisa lepas dari korupsi.

Selain korupsi APBD dan perizinan, Kota Bekasi tak bisa lepas dari korupsi di sektor kebijakan. Meski sejauh ini belum tersentuh penegak hukum, namun ada sejumlah kebijakan Pemkot Bekasi yang menyerempat tindak pidana korupsi. Sebab keberadaan kebijakan tersebut nampak sengaja dibuat untuk memberi keuntungan kepada pihak atau kelompok tertentu.

Yang paling hangat tentu kebijakan mengenai Kartu Sehat. Dengan keberadaan kebijakan tersebut, di mana semua masyarakat Kota Bekasi bisa berobat gratis dengan dibiayai APBD, maka secara tidak langsung kebijakan ini telah memberi keuntungan tersendiri bagi pemilik rumah sakit di Kota Bekasi.

Faktanya, sejumlah rumah sakit di Kota Bekasi yang bekerjasama dengan Pemkot Bekasi menerima pasien Kartu Sehat, kini ramai pengunjung dan secara otomatis mengalami peningkatan pendapatan. Dengan kata lain, maka kebijakan Kartu Sehat menguntungkan kelompok atau golongan tertentu. Artinya, ada unsur korupsi terpenuhi dari kebijakan yang dikeluarkan Pemkot Bekasi itu.

Tak hanya kebijakan mengenai Kartu Sehat saja, sejumlah kebijakan Pemkot Bekasi juga terindikasi sengaja dibuat untuk kepentingan memberi keuntungan kepada pihak-pihak tertentu.

Parkir Meter contohnya, keberadaan kebijakan ini jelas -jelas telah menguntungkan salah satu pihak atau kelompok. PT Pan Satria Sakti dan PT Jaya Sakti Sekurindo–yang melebur menjadi Integrated Technology Services (ITS)–adalah korporasi yang diuntungkan dalam uji coba parkir meter.

Kebijakan Pemkot Bekasi tentang pengolahan sampah Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Sumurbatu menjadi tenaga listrik nampak terlihat memberikan untung bagi pihak yang digandeng dalam kerjasama pengelolaan sampah tersebut, yakni PT Nusa Wijaya Abadi. Setidaknya, hal ini bisa dilihat dengan isi kontrak kerjasama yang memberikan banyak keuntungan kepada pihak PT Nusa Wijaya Abadi ketimbang Pemkot Bekasi.

Berangkat dari fakta-fakta yang ada semestinya pemberantasan korupsi di Kota Bekasi bisa berjalan masif. Sudah saatnya penegak hukum bereaksi dan tanggap terhadap maraknya dugaan korupsi di Pemkot Bekasi di bawah rezim Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi.

Hari Antikorupsi Internasional yang jatuh pada 9 Desember 2017 hendaknya menjadi momentum penegak hukum untuk melakukan pemberantasan korupsi di Kota Bekasi agar pemberantasan korupsi tidak lagi adem ayem.

Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *