Kartu Bekasi Sehat yang ‘Tidak Sehat’

Program Kartu Sehat Pemerintah Kota Bekasi disinyalir bermuatan politis. Didesain untuk dua agenda politik sekaligus: mendongkrak popularitas wali kota Bekasi Rahmat Effendi dan memonopoli uang negara untuk kepentingan Pilkada 2018.

Demi kepentingan itu, permainan kartu mesti berlanjut–apa pun yang terjadi. Dari menabrak aturan pemerintah pusat, mengorganisir aparatur sipil negara untuk terlibat pemenangan petahana, sampai membungkam wakil rakyat dengan monopoli anggaran.

Kartu Sehat jelas rancu dengan program nasional, yaitu Jaminan Kesehatan Nasional dan Kartu Indonesia Sehat. Kartu yang terakhir bahkan sedang gencar dipromosikan Presiden Jokowi untuk keluarga tidak mampu.

Kedua program itu digawangi oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan berdasarkan Undang Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Sementara, di Kota Bekasi, Kartu Sehat berjalan tanpa landasan hukum yang jelas, sebagai contoh Peraturan Daerah.

“Kemungkinan rancu,” kata Kepala Cabang BPJS Kesehatan Bekasi, Siti Farida Hanoum, kepada Klik Bekasi. Ia pun menyarankan agar Pemkot Bekasi segera mengintegrasikan Kartu Sehat dengan JKN dan KIS, karena hampir seluruh daerah melakukan pola seperti itu.

Data BPJS Pusat memperlihatkan, terhitung Januari 2017, sebanyak 453 dari 491 daerah di Indonesia sudah mengintegrasikan Jamkesda dengan JKN dan KIS. Total peserta yang terintegrasi mencapai hampir 17 juta. Kota Bekasi tidak termasuk.

“Sejak JKN bergulir, Jamkesda tidak bisa lagi dikelola langsung oleh daerah, karena dialihkan ke BPJS Kesehatan,” kata Direktur Hukum, Komunikasi dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan Bayu Wahyudi dalam siaran persnya di Jakarta, belum lama ini.

Sejak setahun yang lalu, tepatnya pada 19 Oktober 2016, Menteri Dalam Negeri juga sudah menerbitkan surat edaran No.440/3890/SJ untuk menginstruksikan kepala daerah agar segera mengintegrasikan Jamkesda dengan JKN dan KIS.

“Sanksinya jelas dan tegas. Kalau program strategis nasional, maka mau tak mau daerah harus laksanakan,” kata Direktur Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan dan Kerjasama, Direktorat Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri, Rizari, di Jakarta.

Sikap pemerintah pusat tentu beralasan. Fakta menunjukkan, sebagian program jaminan kesehatan yang dikelola daerah rawan dikorupsi. Sejumlah pejabat di beberapa daerah bahkan masuk bui karena terbukti bermain-main dengan anggaran kesehatan.

“Upaya melakukan korupsi anggaran Jamkesda ditengarai menjadi motif kenapa program tersebut ingin dikelola sendiri oleh daerah,” kata Koordinator advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, yang fokus mengadvokasi seputar jaminan kesehatan sejak 2011, kepada wartawan di Jakarta.

(Baca: Main Kartu Rahmat Effendi)

Sayangnya, di Kota Bekasi, Rahmat Effendi justru semakin kencang mengampanyekan Kartu Sehat. Dalam beberapa kesempatan, ia bahkan mengklaim Kartu Bekasi Sehat lebih baik daripada program pusat. Selain gratis dan tidak mengenal status sosial, kartu itu pun mudah digunakan karena berbasis Nomor Induk Kependudukan.

“Kalau kartu BPJS dibayar dengan iuran per bulan sesuai kelasnya oleh warga pemegang kartu dan baru bisa digunakan setelah sebulan mendaftar. Kalau Kartu Sehat Kota Bekasi ini gratis, tidak ada iuran, dan kalau warga berobat pun pasti dilayani tanpa pungutan,” kata Rahmat Effendi, beberapa waktu lalu.

Sumber kami di internal Pemkot Bekasi mengungkapkan, Rahmat Effendi memang secara terbuka menginstruksikan para pejabatnya agar mendukung pencalonannya–termasuk program unggulannya itu. Alibinya, setiap aparatur berhak memilih pemimpinnya demi kemajuan Kota Bekasi.

Sejumlah pejabat sekelas kepala dinas dalam beberapa kesempatan bahkan terang-terangan menyatakan keinginan agar Rahmat Effendi memimpin kembali. Sebagai contoh kecil, mereka tidak malu-malu mengacungkan dua jari saat berpose–kode mendukung Rahmat Effendi memimpin dua periode.

“Awalnya birokrat terpecah, apakah ke Ahmad Syaikhu (wakil wali kota) atau ke Rahmat Effendi. Tapi sekarang hampir semua pejabat eselon dua sudah siap memenangkan petahana,” kata sumber kami.

Permainan politik di balik Kartu Sehat–dengan campur tangan aparatur negara–sempat mencuat ke publik ketika Ahmad Syaikhu menyindir Rahmat Effendi via media sosial karena gambarnya tidak terpampang dalam iklan layanan masyarakat.

PKS, partai Syaikhu, ikut heboh mengkritik Rahmat Effendi. Maklum, kampanye program tersebut memang masif dan menarik perhatian masyarakat. Ada 39 rumah sakit di Kota Bekasi–termasuk RSUD–yang menjadi mitra program Kartu Sehat. Di luar Kota Bekasi ada 19 rumah sakit.

Belakangan, ketegangan PKS dan Golkar mulai mencair ketika nama Sutriyono, politikus PKS, muncul dalam bursa Pilkada 2018 untuk mendampingi Rahmat Effendi. Kabarnya, petahana sengaja memberikan angin segar kepada PKS agar partai yang berpotensi menjadi lawannya itu tidak cerewet soal Kartu Sehat.

Pemerintah Kota Bekasi (1)

Monopoli anggaran di DPRD

Tahun 2018, Pemkot Bekasi menyiapkan anggaran fantastis untuk program Kartu Sehat: Rp150 miliar. Angka itu lebih besar dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu Rp75 miliar. Anggaran sudah diajukan ke DPRD Kota Bekasi dan kemungkinan besar disetujui.

Sumber kami di DPRD mengungkapkan, lolosnya anggaran jumbo Kartu Sehat dua tahun berturut-turut di legislatif tidak didapat dengan gratis. Harus ada ‘upeti’ yang dibayarkan. Salah satunya dengan menggaransi jatah aspirasi para anggota dewan.

Untuk anggota dewan di dalam Badan Anggaran, yang memiliki kunci untuk meloloskan anggaran Kartu Sehat, jatahnya sampai Rp5 miliar. Sedangkan anggota biasa Rp3 miliar.

“Tapi bisa jadi lebih, tidak mungkin ketua fraksi dan pimpinan dewan jatahnya sama, pasti beda. Belum ketua-ketua partai,” kata sumber, seorang anggota dewan.

Menurut sumber, tahun-tahun sebelumnya, Pemkot Bekasi seringkali tidak menyerap anggaran aspirasi mereka–padahal sudah masuk dalam APBD. Jika itu yang terjadi, konstituen di mana anggota dewan itu terpilih, bisa kecewa.

“Biasanya tidak semuanya terserap. Sekarang ada garansi. Itu dealnya dengan Kartu Sehat. Kami sangat butuh itu untuk persiapan Pileg 2019,” ungkapnya.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bekasi, Koswara Hanafi, membantah tudingan telah membungkam legislatif dengan permainan anggaran. Ia meminta agar langsung bertanya kepada Katua DPRD.

“Ndak kok, dicek ke ketua dewan saja sebagai ketua Banggar,” kata dia, singkat.

Ketua DPRD Kota Bekasi, Tumai, mengatakan tidak tahu menahu mengenai permainan anggaran Kartu Sehat. “Ora (tidak, -red) tahu aku,” kata politikus PDI Perjuangan itu, saat dikonfirmasi.

Tidak hanya mendapat jatah anggaran, para anggota dewan bahkan ikut membagikan Kartu Sehat–sekaligus kampanye pribadi. Mereka tidak peduli apakah itu juga akan menguntungkan Rahmat Effendi sebagai pembuat program sekaligus lawan politiknya di Pilkada 2018.

Ketua Fraksi PDI Perjuangan, Anim Imamuddin, dan Tumai, adalah dua di antaranya. Mereka turut membagikan Kartu Sehat sekaligus mengampanyekan diri. Padahal, PDI Perjuangan, partai keduanya, sejauh ini masih berada di pihak oposisi petahana dari Golkar.

Gaduhnya pelaksanaan Jamkesda di Kota Bekasi konon terdengar sampai pusat. Belum lama ini, misalnya, Dirjen Otonomi Daerah Kementrian Dalam Negeri, Soni Sumarsono, mendadak datang ke Pemkot Bekasi.

Soal kedatangan Soni Sumarsono, Kepala Inspektorat Kota Bekasi, Widodo, membenarkan. Ia kebetulan ikut mendampingi Rahmat Effendi menerima kunjungan Soni. Namun Widodo mengatakan kedatangan Soni bukan untuk mempertanyakan Kartu Sehat.

“Dalam pertemuan dengan Dirjen Otda tidak membahas soal kartu sehat. Yang ikut pertemuan bukan cuma saya. Ada Asisten Daerah. Silahkan kroscek jawaban saya,” kata Widodo kepada Klik Bekasi.

Lalu apa jawaban Soni? Saat dikonfirmasi, Soni mengatakan, kedatanganya ke Kota Bekasi memang tidak spesifik untuk urusan Kartu Sehat. “Tidak spesifik urusan Jamkesda, karena itu yang menangani Ditjen Keuangan Daerah,” kata Soni diplomatis.

Belum lama ini, Badan Pemeriksa Keuangan juga mendatangi kantor wali kota Bekasi. Kabarnya BPK sedang mendalami dugaan pelanggaran pelaksanaan program Kartu Sehat. Ini pun dibantah Pemkot Bekasi.

“Memang benar BPK datang melakukan pemeriksaan, namun tidak memeriksa Kartu Sehat,” kata Widodo.

Widodo, yang seharusnya juga bertugas membantu BPK dalam proses audit, justru memuji Kartu Sehat. Menurutnya, tidak ada yang salah soal Kartu Sehat. Apalagi program itu bagus dan direspon positif oleh masyarakat.

“Kalau memberikan program yang terbaik untuk masyarakat dan masyarakat merepson positif, apa salah,” kata dia, balik bertanya.

Lagi pula, kata dia, program Kartu Bekasi Sehat dikeluarkan melalui proses yang ketat dan tidak main-main.

“Pembahasan anggaran sudah bersama-sama dengan DPRD, dievaluasi oleh Provinsi, tata kelola sudah dilalui,” terang Widodo.

Widodo juga menampik bahwa Kartu Sehat Pemkot Bekasi telah menabrak kebijakan pemerintah pusat.

“Kan kami melaksanakan program strategis nasional seperti BPJS, malah dengan BPJS ketenagakerjaan Pemkot Bekasi sudah melakukan MoU (perjanjian). Puskesmas kita juga melaksanakan rujukan JKN,” tandasnya.

Soal integrasi Kartu Sehat dengan JKN dan KIS, Kepala Dinas Kesehatan Kota Bekasi, Kusnanto Saidi, senada dengan Widodo. Menurutnya, Kartu Bekasi Sehat lebih hemat daripada Pemkot mengintegrasikannya dengan BPJS Kesehatan.

“Pertimbangan kami soal anggaran. Jika seluruh warga kami cover dengan BPJS maka biaya yang harus dikeluarkan sangat tinggi. Makanya, kami memilih menggunakan Kartu Sehat,” kata dia.

Kusnanto menjelaskan, dengan anggaran Rp150 miliar di tahun 2018, Pemkot Bekasi menargetkan 1,7 juta jiwa warga Kota Bekasi mengikuti program Kartu Sehat.

“1,7 juta muncul dengan mengacu angka kesakitan di Kota Bekasi, yaitu 25 persen. Ketemulah anggaran Rp150 miliar untuk dimasukkan pada APBD 2018. Saat kami jelaskan kepada anggota dewan, mereka setuju dengan angka itu,” katanya. (TIM)

Tinggalkan komentar